Rabu, 16 Februari 2011

etika belajar dan mengajar menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada dasarnya dunia pendidikan merupakan sebuah sarana yang tepat dalam meningkatkan dimensi etik yang ada dalam diri manusia khususnya anak didik (siswa). Penanaman akan nilai-nilai etik sejak dini menjadi penting untuk dilakukan guna melahirkan generasi penerus yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Hal yang demikian bertujuan juga menciptakan masa depan yang tetap manusiawi. Proses belajar mengajar yang penuh akan niali-nilai etik sudah semestinya menjadi tujuan utama dalam sistem pendidikan Indonesia.
Dalam konteks etika belajar mengajar, penanaman etika yang baik berkaitan dengan out put pendidikan, yakni tipe manusia ideal masa depan yang hendak di bentuk dalam proses pendidikan. Dalam kaitan ini kita berpendapat bahwa tipe manusia ideal masa depan yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini tentu saja mengharuskan agar etika dalam proses belajar mengajar kita harus lebih di maksimalkan.
Dalam pembentukan watak pada anak (siswa) masyarakat juga pada umumnya lebih mempercayakan kepada dunia pendidikan formal yang didapatkan disekolah atau lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan diluar sekolah. Walaupun dari banyak riset menjelaskan peranan keluarga juga penting dalam pembentukan watak anak didik namun kenyataannya orang tua lebih mempercayakan penanaman dimensi etik diletakkan dalam tangan pendidikan.
Pada dasarnya, Manusia memiliki kepribadian yang ganda dalam dirinya. Secara singkat Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa dua kepribadian tersebut adalah kepribadian hewani dan manusiawi itu sendiri. Hal ini tergambar jelas dari bagaimana tahap awal manusia diadakan dan dalam perjalanan hidupnya berkembang secara evolusif terhadap lingkungan dan alam.[1]
Dalam Islam, sebagai agama yang di dalamnya terdapat multi disiplin keilmuan tentu saja memiliki acuan yang baik dalam mengarahkan bagaimana perkembangan manusia dapat serasi dengan alam dan lingkungan. Atau bahkan dalam situasi yang berbeda, justru manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengarahkan kemana lingkungan social tersebut terbentuk.
Etika misalnya, merupakan salah satu kajian yang dapat digunakan agar subjek menjadi lebih terarah dan dapat menciptakan realitas yang dinamis dan harmonis. Islam misalnya, yang merupakan Agama yang Rahmatan Lil’almin tentu saja memiliki kajian khusus tentang etika.[2]
Etika dalam perkembangannya di eara modernisme seperti sekarang ini menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan. Para orang tua ketika dihadapkan dengan arus teknologi yang sarat akan nilai-nilai negatif, cenderung mengarahkan anaknya kepada nilai-nilai keagamaan yang penuh akan nilai-nilai etik.
Perusahaan yang sedang dan sudah berkembang menghimbau agar para pegawainya mengikuti pelatihan ESQ (Emosional and Spiritual Question) agar diharapkan para pegawai menjadi pekerja yang beretika dan berdedikasi tinggi terhadap perusahaan.
Demikian juga halnya dalam proses belajar dan mengajar, Etika dalam kaitanya dengan belajar dan mengajar bertujuan mengarahkan bagaimana proses belajar dan mengajar yang sebenarnya, tentu saja dengan adanya rujukan yang jelas, maka diharapkan dapat menghasilkan out put yang maksimal terutama para anak didik yang berilmu sekaligus beriman dan beretika.
Dalam proses belajar mengajar tentunya diperlukan suatu tatanan dan keteraturan guna mencapai hasil yang maksimal. Etika disini mengambil peranan yang penting, karena dengannya teraturan dan tatanan terbentuk. 
Ghazali misalnya, menjelaskan dengan rinci bagaimana etika dalam proses belajar mengajar terlaksana, contoh kecil yang diberikan adalah bagaimana penanaman nilai etik pada anak usia 0-12 tahun seperti yang di jelaskan :
“Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Dalam hal ini diperlukan pendekatan yang berbeda dalam penyampaian ilmu serta proses belajar mengajar. Kecermatan dan kesesuaian dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik menjadi tujuan utama. dalam bahasa yang berbeda, metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul”.[3]
Ghazali merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir dalam Islam yang menyinggung tentang pentingnya etika dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar. Pada dasarnya Islam sebagai agama yang universal telah mengatur bagaimana proses belajar mengajar berjalan dan terlaksana, hanya saja perumusan dalam bentuk disiplin keilmuan sangat diperlukan guna memberikan petunjuk yang baku kepada para pendidik dan peserta didik.
Dewasa ini, dapat kita saksikan baik di kehidupan sehari-hari ataupun dalam media yang tersebar di masyarakat baik cetak maupun elektronik. Dekadensi moral yang ada pada anak usia dini telah terjadi dimana-mana, para orang tua sibuk menyalahkan lembaga pendidikan dengan alasan yang pada dasarnya cukup delematis.
Demikian juga dengan para pendidik, geliat penyampaian keilmuan yang sesungguhnya juga sudah mulai tereduksi oleh kebutuhan sehari-hari (materi). Tidak sedikit tenaga pendidikan yang hanya pedoman bahwa cukup dengan melaksanakan tugas dan memenuhi absensi maka telah terlaksana kewajiban yang diembankan. Tanpa disadari paradikma seperti ini menjadi sebab terciptanya perubahan dalam dunia sosial pendidikan.
Selain itu, dalam keadaan yang lebih luas, peristiwa-peristiwa kerusuhan dan konflik sosial yang sebagiannya bermuatan “sara” terus-menerus menjadi tontonan kita sehari-hari di era reformasi ini, suatu tontonan yang menunjukkan betapa parahnya krisis ukhuwah dalam kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Disinilah posisi etika menempatkan diri sebagai factor yang sangat penting, khususnya dalam dunia pendidikan.[4] 
            Dalam kaitannya dengan kasus yang berkembang di era reformasi saat ini, penanaman nilai etik dalam proses belajar dan mengajar juga disinggung oleh pemikir Islam seperti halnya Yusuf al-Qurdhawi. Pada intinya persoalan etika dalam proses belajar dan mengajar merupakan persoalan moral yang tertanam dalam setiap individu, baik subjek maupun objek didik.
            Oleh karenanya solusi yang paling efektif harus bersandar pada moralitas manusia, yaitu dengan cara melakukan kajian perihal pemikiran yang berkaitan dengan etika belajar dan mengajar dalam pendidikan islam. Hal ini dapat diawali dari peninjauan kembali terhadap dimensi keadilan, kebaikan, kasih sayang yang keseluruhannya terjadi dalam proses belajar dan mengajar.
Dari pemikiran seperti ini, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian secara lebih mendalam, dalam rangka memperkaya dari keseluruhan konsep etika belajar mengajar yang sebelumnya telah banyak disinggung oleh tokoh yang berbeda. Penulis juga bertujuan memperkaya khasanah kajian etika belajar dan  mengajar yang diambil dari nilai-nilai agama terutama al-Quran dan al-Sunnah.
 
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis mencoba merumuskan apa yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1.      Bagaimana makna Filsafat pendidikan?
2.      Bagaimana etika belajar dan mengajar dalam pendidikan Islam menurut Yusuf Al-Qurdhawi?
3.      Bagaimana etika belajar dan  mengajar menurut Yusuf Al-Qardhawi kajian filsafat pendidikan?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan :
1.      Untuk mengetahui makna filsafat pendidikan
2.      Untuk mengetahui etika belajar dan mengajar dalam pendidikan Islam Yusuf Al-Qardhawi.
3.      Untuk mengetahui etika belajar dan mengajar menurut Yusuf Al-Qardhawi  kajian filsafat pendidikan.
D. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Dasar Etika Belajar dan Mengajar.
Dalam mengkaji sebuah konsep, hendaknya mengetahui secara pasti makna dari kata yang digunakan. Hal ini mejadi sesuatu hal yang penting karena dengan mengetahui arti baik secara bahasa maupun istilah dari kata yang digunakan,maka dengan sendirinya seorang pengkaji dapat menerka makna secara keseluruhan dari konsep yang di kaji.
Karena dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan secara singkat dari makna kata-kata yang digunakan dan setelahnya mengkomparasikan konsep yang ada dengan realitas kekinian sehingga kajian ini menjadi sangat menarik untuk diangkat.
a.      Pengertian “Etika Belajar dan Mengajar”
Menurut K. Bartens etika (Etimologi) berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom) . Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan.[5]
Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.      Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut Slameto (1995:2) Belajar adalah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Selanjutnya Winkel (1996:53) Belajar juga memiliki definisi yang lain yakni, “suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstant.
Kemudian Hamalik (1993:28) mendefinisikan belajar adalah “suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.” Menurut Sunaryo (1989 : 10) Mengajar adalah “suatu kegiatan agar proses belajar seseorang atau sekelompok orang dapat terjadi, untuk keperluan tersebut seorang guru seharusnya membuat suatu sistim lingkungan sedemikian rupa sehingga proses belajar dapat tercapai secara efektif dan efisien. Istilah mengajar dalam pengertian ini adalah menciptakan situasi dan kondisi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Suatu proses belajar mengajar dapat berjalan efektif, bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam proses belajar yaitu siswa, guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, serta lingkungan saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan.
Dengan demikian, etika belajar dan mengajar diartikan sebagai prinsip-prinsip moral, ajaran, adat, atau kebiasaan berkenaan apa yang baik, benar dan tepat dalam pelaksanaan belajar dan mengajar. Atau dengan kata lain, etika pendidikan merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan tingkah laku (akhlak) yang berhubungan dengan proses belajar mengajar.[6]
b. Tujuan Etika Belajar Dan Mengajar
Pendalaman nilai etik dalam dunia pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar menjadi lebih penting guna meredam spekulasi teoritis IPTEK yang terus memasuki wilayah sakral keagamaan. Penanganan akan permasalahan ini tentu saja tidak ditemukan dalam reverensi keagamaan klasik. Guna menjawab tantangan IPTEK yang bersifat continu diperlukan penggalian kembali akan nilai keagamaan yang bersifat praktis namun antisipatif. Seorang pendidik haruslah demokratis namun antisipatif dalam menangani anak didik jika dikontekskan dengan dunia pendidikan.[7]
Namun demikian, diperlukan juga pemikiran yang kreatif guna mengembangkan nilai religius paradikmatik agar para anak didik terhindar dari radikalisasi serta keterasingan yang hebat sepertihalnya dalam kasus “Order of the Solar Tample”.[8]
Pendalaman akan dimensi etik dalam dunia pendidikan Islam sangat terkait erat dengan iman. Di dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :
Artinya : “Dan Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”. (Q.S al-Hujaraat : 7)
Penyampaian yang baik bagi pendidik dalam dunia akademik haruslah sesuai dengan konteks sosial dengan tidak membelakangi proses pembentukan iman para peserta didik.[9]
            Selain itu, proses belajar mengajar yang baik dapat dilihat melalui kaca mata filsafat pendidikan. Perlu disyukuri bahwa Islam yang merupakan suatu agama yang universal telah mengatur secara penuh bagaimana keseharusan kehidupan manusia di dunia. Baik hubungannya dengan alam dan Tuhan. Islam memang tidak mengabaikan muatan-muatan kemanusiaan sehingga dalam waktu yang bersamaan di dalam dimensi etika dalam Islam yang langsung berasal dari Tuhan mengandung unsur ilahiyah dan kemanusiaan.[10]
            Kelebihan yang ada dalam Islam sudah semestinya membuat umat Islam lebih maju dari kalangan yang lain. Namun faktanya berlaku terbalik, westernisasi yang terjadi pada generasi penerus telah sampai pada limit yang terburuk hingga melahirkan dekadensi moral yang akut. Penanaman nilai etik pada akhirnya sangat diperlukan guna menangkal hal tersebut.
            Perlu dipahami, bahwa terdapat unsur-unsur yang berbeda antara barat dan timur. Rudyard kipling menggambarkannya sebagai dua hal yang bertentangan satu sama lain sehingga kecil sekali kemungkinan keduanya bergabung dan membentuk suatu kesatuan. Ia melanjutkan, hal ini disebabkan oleh teori pengetahuan menurut Islam telah berbeda sejak awal dengan teori pengetahuan yang berkembang di barat.[11] Karenanya, dalam hal ini pendidik hendaknya harus lebih selektif dan berhati-hati dalam proses penanaman nilai etika yang berlangsung dalam proses belajar mengajar.
             Dalam Islam pendidik bukanlah hanya bertanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan. Tetapi juga hendaknya memberikan teladan bagi murid-muridnya. Contoh yang diberikan bukan juga hanya dalam bentuk mata pelajaran, tetapi seharusnya yakni menanamkan keimanan dan ahklaq sesuai dengan ajaran dalam Islam.[12] Peningkatan akan kepekaan nilai iman dengan sendirinya akan terbentuk dalam jiwa manusia. Karena secara lahiriah, tabiat dan watak yang baik suatu menjurus pada suatu kebaikan yang dengannya orang menjadi enggan untuk melakukan suatu keburukan.[13] 
c. Konsep Dasar Etika Belajar Mengajar Menurut Yusuf Al-Qardhawi
Dalam kaitannya dengan konsep etika belajar mengajar, secara singkat Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa adanya keterlibatan secara menyeluruh pada diri manusia baik fisik maupun psikis. Hal ini melibatkan beberapa unsur yang kemudian dengannya akan tampak kemajuan pada diri manusia baik dirinya, orang lain maupun lingkungan.
Ahklak bagi Yusuf al-Quradhawi merupakan unsur psikis yang tidak boleh di kesampingkan. Karena kebaikan ahklak akan berdampak pada perilaku keseharian anak didik. Unsur yang lain adalah akal dan hati, rohani dan jasmani, keseluruhannya menempatkan diri pada porsinya, dalam bahasa yang mudah, keseluruhannya menjadi penting untuk dikembangkan dan mendapatkan penanganan yang serius dari pendidik (guru). Karena itu pendidikan Islam, menurutnya harus mampu  menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan perang maupun damai, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya sehingga dengan kata lain selalu siap dan waspada terhadap realitas.[14]
2.      Kajian Filsafat Pendidikan
a.      Pengertian “Filsafat Pendidikan”
Falsafah atau Filsafat berasal dai bahasa yunani kuno, yaitu “philosophia”. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk yang berasal dari kata (philia: persahabatan, cinta) dan (shopia:”kebijaksanaan”). Sehingga arti harfiahnya adalah pecinta kebijakan atau ilmu. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa tujuan filsafat, pada mulanya adalah mulia. Yakni membuat orang cinta kebijaksanaan dan seterusnya menjadi bijaksana.[15]
 Filsafat menurut para ahli:
a)      Plato (427sm – 347sm) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid socrates dan guru aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b)      Aristoteles (384 sm – 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
c)      Marcus Tullius Cicero (106 sm – 43sm) politikus dan ahli pidato romawi, merumuskan: filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
d)      Al-Farabi (meninggal 950m), filsuf muslim terbesar sebelum ibnu sina, mengatakan : filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
e)      Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan : filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).[16]
Menurut S.A. Bratanata dkk (1991: 69) Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.[17] Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.[18]
Sedangkan menurut UU no. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[19]
Dengan demikian filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah - masalah pendidikan.[20] Filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan.[21]

b. Tujuan Filsafat Pendidikan 
1.      Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan;
2.      Membantu memperjelas tujuan-tujuan pendidikan;
3.      Melaksanakan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut
4.      Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan.
c. Obyek Kajian Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.
Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
a. Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
b. Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya.
c. Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
d. Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.
Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:
a. Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, serta proses kejadian kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
b. Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat (dualisme) atau banyak zat (pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat kebendaan, maka paham ini disebut materialisme.

E. Langkah- langkah penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian yang signifikan maka perlu dilakukannya langkah-langkah penelitian sebagai berikut :
1.      Study Pendahuluan
Merupakan suatu langkah kajian yag bertujuan untuk mengetahui apakah objek penelitian layak dilakukan penelitian (komprehensif). Hal ini dapat dilihat dari literatur-literatur yang berkaitan dengan objek kajian.
2.      Menentukan Masalah Penelitian
Berkenaan dengan judul yang penulis angkat, maka masalah-masalah yang akan dibahas oleh penulis antara lain :
a.       Bagaimana makna Filsafat pendidikan?
b.      Bagaiman etika belajar dan mengajar dalam pendidikan islam menurut Yusuf Al- Qardhawi?
c.       Bagaimana etika belajar dan mengajar menurut Yusuf Al-Qardhawi kajian filsafat pendidikan?
3.      Menentukan Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif kepustakaan (library research), dalam arti bahwa data yang ada diperoleh melalui penelaahan dan penelusuran terhadap kepustakaan-kepustakaan yang terkait dengan permasalah penelitian.[22] Oleh karena itu, objek penelitian ini adalah berupa buku-buku, majalah, artikel-artikel, surat kabar serta tulisan lain yang dapat memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan peneliti.

4.      Menentukan Jenis Data
Adanya data yang kualitatif yang menjadi sumber objek penelitian berdasarkan akal dan literature- literature dikatagorikan menjadi dua sumber data yakni :
a.       Sumber Data Primer
Sumber data dalam penelitian ini mengambil sumber yang berkaitan langsung dengan objek research yakni Yusuf al-Quradhawi sebagai figure sentral penelitian dan pandangannya dalam etika belajar dan mengajar dalam pendidikan Islam seperti halnya yang diangkat oleh peneliti.
b.      Sumber Data sekunder
Yaitu sumber data yang berhubungan dan menunjang segala bentuk penelitian atau karya-karya lain yang berbicara mengenai etika belajar mengajar selain Yusuf al-Quradhawi. [23]
5.      Analisis Data
1.      Deduktif menganalisa terhadap kesimpulan yang bersifat umum yaitu tentang etika belajar dan mengajar menurut yusuf al-qardhawi guna membuat kesimpulan secara khusus.
2.      Induktif menganalisa beberapa data yang bersifat khusus yaitu pemikiran-pemikiran Yusuf Al-Qardhawi tentang etika belajar dan mengajar guna membuat kesimpulan secara umum.
3.      komperatif yaitu menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat dengan cara berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dan  mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.
6.      Menarik Kesimpulan
Berisikan kesimpulan dan saran tentang etika belajar dan mengajar dalam pendidikan islam Menurut Yusuf Al-Qardhawi ( Kajian Filsafat Pendidikan)
















BAB II
TINJAUAN TEORITIS FILSAFAT PENDIDIKAN,
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN ETIKA BELAJAR MENGAJAR

A.     Teori Filsafat Pendidikan
1.      Filsafat Pendidikan
Filsafat merupakan konsep yang dilahirkan para pemikir yang berasal dari Yunani. Secara hisoris, filsafat sebutan atau panggilan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan dalam bidang-bidang tertentu. Tukang panah misalnya, karena kemampuannya dalam membuat panah, maka ia disebut sebagai orang yang berfilsafat. Tukang patung, besi bahkan petani disebut sebagai orang yang berfilsafat.
Namun dalam perkembangannya, filsafat yang berasal dari kata fhilos (cinta) dan sophia (bijaksana)[24] akhirnya terpetakan menjadi sebuah disiplin keilmuan yang mengacu pada proses berfikir. Dalam bahasa indahnya Plaot menggunakan kata “hakekat” dalam mendifinisikan filsafat secara istilah. Bagi Plato, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari “hakekat” dari segala sesuatu yang ada. Makna ini juga yang kemudian menjadi pemacu dalam perkembangan filsafat secara radikal.
Dalam kaitannya dengan pendidikan dengan sendirinya filsafat yang digunakan sebagai pisau analisis dapat bermanfaat dalam menganalisis sendi-sendi dalam dimensi pendidikan. Setidaknya secara singkat dapat disebutkan beberapa ciri dari filsafat dalam menganalisa sesuatu yang “ada”. Beberapa hal tersebut antara lain :
  1. Radikal.
Merupakan cirri dari filsafat. Radikal yang dimaksud bukanlah radikal seperti halnya yang ada dalam benak kita, radikal yang identik dengan bengis, kasar dan mengandung segala sesuatu yang negatif. Tapi radikal disini adalah memikirkan, mengkaji dan menganalisis sesuatu yang “ada” sampai ke akar-akarnya. Setidaknya analisinya menjawab 5 unsur dalam bahasa manusia yakni 5 w + 1 H (What, Who, When, Where, Why + How), hal ini bertujuan agar hasil yang dicapai objektif dan tidak ada unsure kepentingan.
  1. Metodis
pola pikir yang radikal akan sangat tidak berrmanfaat jika tanpa pemikiran yang metodis. Dalam filsafat kajian mengenai teori-teori ilmu  pengetahuan dibahas dalam epistemologi.

  1. Universal 
berasal dari kata univers (alam semesta) menunjukkan makna menyeluruh. Dalam mengkaji sesuatu yang “ada” hendaknya seobjektif mungkin setidaknya itulah mana dari kata universal dalam cara berpikir filosofis.
Sehingga jika memasukkan filsafat dalam konteks kata pendidikan maka akan didapatkan makna, filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah - masalah pendidikan.[25] Filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan.[26]
B.     Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan  bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.[27] 
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya harus sesuai dengan ruh (spirit) Islam.
  2. Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya.
  3. Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah).
  4. Pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi.
  5. Bersifat universal dengan standar keilmuan.
  6. Selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam.
  7. Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya.
  8. proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek  formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut.
Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian  sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam.[28]

C.     Teori dan Aliran Etika
1.      Teori Etika
Kata etika pada dasarnya tidak hanya terdengar dalam ruang perkuliahan saja. Kata-kata “etika”, ”etis” dan moral hampir setiap saat kita dengar di televisi, radio dan bahkan sampai seorang ibu yang menasehati anaknya selalu mengucapkan kata “etika”.
Dapat kita simpulkan juga bahwa kata etika tidak berfungsi dalam suasana iseng dan remeh, tetapi sebaliknya dalam suatu konrteks yang serius dan kadang-kadang malah sangat prinsipil. Atau dalam bahasanya yang berbeda, jika kita berbicara tentang “etika” maka bertujuan pada sesuatu yang penting.
Setidaknya, ada beberapa teori yang secara implisit membahas perihal etika. Baik secara etimologi, maupun terminology antara lain :
a.      Definisi Etika Secara Etimologi.
Etika adalah sebuah istilah yang sangat sering kita dengar dalam beberapa perbincangan terlebih-lebih di era modern saat ini. Istilah “etika” pada dasarnya merupakan akar kata yang berasal dari Yunani ethos. Kata ethos ini dalam bentuk tunggalnya memiliki banyak makna antara lain : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat serta watak. Namun jika dalam bentuk jamaknya ta etha artinya adalah adat kebiasaan.[29]
b        Definisi Etika Secara Terminologi
setidaknya ada beberapa definisi yang diberikan oleh bebrapa pemikir dalam menjelaskan makna secara terminology dari etika antara lain :
1.      Suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
2.      Suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia tertentu dengan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia yang lain.[30]
3.      Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban moral (akhlak).
4.      Kumpulan asas atau nilai-nilai yang berkenaan dengan akhlak.
5.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Makna kata etika yang ada dalam poin 4 (empat) dan 5 (lima) merupakan penyempurnaan yang dilakukan oleh para ahli bahasa guna menghilangkan sifat ambigu dalam masyarakat antara makna etika dan moral. Ruang cakupnya yang hampir bersamaan diperlukan kejernihan makna antara kedua kata tersebut. [31]
Khusus untuk poin ke 3 (tiga) Para ahli bahasa sesungguhnya berusaha untuk menggunakan kata etika hanya sebatas pada disiplin keilmuan atau akhiran “ika” harus dipakai untuk menunjukkan ilmu misalnya “stastistika” atau ilmu tentang “statistik”.[32]
Selain itu, kata etik juga merupakan predikat yang melekat pada suatu tindakan atau perbuatan manusia. Sehingga dapat dikatakan “bersifat etik” jika masuk dalam tataran praktis yang digunakan dalam membedakan hal-hal serta perbuatan-perbuatan.[33] Penjelasan ini juga sejalan dengan makna etika yang sesungguhnya mampu untuk masuk dalam setiap relung kehidupan sehari-hari setiap individu, walaupun terkadang dalam implementasinya tergoyahkan oleh lemahnya komitmen dan rendahnya mutu perbaikan manusia, sehingga dibutuhkan slogan Back to basic yang etika disini berperan penting dalam upaya pelestarian dan perbaikan manusia.[34]
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, Etika memposisikan diri sebagai sebuah konsep yang membericakan tentang proses kajian belajar mengajar yang terkait dengan tindakan dan perbuatan aktor atau pelaku dalam proses belajar mengajar, baik objek yakni para murid dan guru sebagai subjek. Pada dasarnya pengkajian akan proses belajar mengajar telah dilakukan oleh para pemikir yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, secara teoritis maupun praktis.
 Termasuk para pemikir muslim abad pertengahan[35] misalnya. Kajian megenai proses belajar mengajar mendapat perhatian yang serius, keseriusan tersebut ditunjukkan dengan banyaknya dilahirkan konsep-konsep yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Namun demikian, pengkajian tema etika dalam belajar mengajar akan terus berkembang sebagaimana berkembangnya disiplin keilmuan yang bersifat dinamis.
2.      Aliran-Aliran dalam Etika
a.      Hedonisme
Aliran ini pada dasarnya berusaha untuk menjawab sebuah pertanyaan yang terkait dari hakekat dasar manusia “apa yang yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia?”,
para hedonis dengan sendirinya kan menjawab “kesenangan” (hedone dalam bahasa Yunani), baik apa yang memuaskan keinginan kita, maupun apa saja yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Tokoh awal dari aliran ini adalah Aristippos dari kyrene (sekitar 433-355 s.m), seorang murid Sokrates.
    1. Eudomonisme
Pandangan ini dilahirkan oleh seorang filosof besar Yunani yakni Aristoteles (384-322 s.m) dalam bukunya, ethica nikomakheia. Ia memulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia manusia mengejar suatu tujuan. Atau dalam bahasa yang berbeda, dalam setiap melakukan kegiatan kita selalu mengiingkan sesuatu yang baik bagi kita. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Tapi jika semua orang telah menyepakati bahwa kebahagiaan adalah tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda.
Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan. Ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti dari kebahagiaan dan ada pula yang mengangap status social dan nama baik sebagai kebahagiaan.
Namun bagi Aristoteles semua hal itu tidak dapat diterima sebagai tujuan terakhir.  Menurut Aristoteles, seseorang dapat mencapai kebahagiaan ketika orang tersebut mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Semisal, tujuan seorang pemain suling adalah memainkan sulingnya dengan baik, tujuan seorang guru adalah memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada anak didiknya dan lain sebagainya sesuai dengan fungsinya. Karenanya, bagi Aristoteles setidaknya ada dua macam keutamaan yakni, memaksimalkan keutamaan akal (rasio) dan moral.
    1. Utilitarianisme klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di UK (United Kingdom) dan dikemudian hari berpengaruh keseluruh kawasan yang bebahasa Inggis. Sumbangan yang terbesar dari pemikiran utilitarianisme clasik berasal dari filsuf skotladia David Hume (1711-1776). Namun demikian, utilitarianisme mendapati bentuknya yang paling matang ditangan Jeremy Bentham (1748-1832) dalam bukunya  Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Dalm buu ini disebukan bahwa utilitarisnisme dimaksudkans sebagai dasar etis dalam memperbaharu hokum Inggris.
Dalam hal ini, bukan lagi konsep-konsep abstrak saja yang ada. Namun sudah lebih pada tataran konsep penerapan dengan melibatkan hukum sebagai objek dari etika.
Secara kodrati memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia ditempatkan dalam situasi yang pelik., yakni Keberadaan di bawah sebuah kedaulatan sebuah penguasa. Hal yang ditimbulkan dari kedaulatan tersebut adalah kesenangan dan ketidak senangan. Namun secara kodrati,tingkah laku manusia akan emngarah kepada kebahagiaan. Maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat mengurangi atau meningkatkan sebanyak mungkin orang.
Dalam jargonnya biasa sering dikatakan “ the principle of utility is : the greatest happiness of the greatest number”. Prinsip kegunaan konsep ini mejadi acuan kita dalam tindakan-tindakan pribadi dalam kehidupan, maupun rujukan Pemerintah dalam pembuatan hukum-hukum.
    1. Utilitarianisme Aturan
Perbedaan dengan konseputilitarisnisme klasik dalam konsep ini dapat kita lihat dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Jika dalam konsepnya yang klasik, pertanyaan yang biasa muncul adalah “ apakah akan diperoleh kebahagiaan yang paling besar untuk paling banyak orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?”. Namun dalam konsep utilitarisnisme aturan pertanyaan ini menjadi tidak penting lagi untuk dijwab. Pertanyaan lanjutan yang paling penting adalah “ apakah aturan moral ‘orang harus menepati janjinya’ merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau sebaliknya. ‘aturan orang tidak perlu menepati janji’ menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan orang?”. Pola piker yang sederhanapun pasti kan menjawab ‘aturan orang yang menepati janji’ adalah yang paling berguna dank arena itu harus diterima sebagai aturan moral.[36]
    1. Deontologi
berbeda dengan konsep-konsep yang sebelumnya, konsep ini tidak lagi melihat hasil dari proses penerapan nilai-nilai etika, namun lebih menekankan pada maksud dan tujuan dari si pelaku. Atau dalam bahasa yag berbeda adalah wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Sistem ini di gagas oleh seorang filsuf besar jerman bernama Immanuel kant (1724-1804). Pemikirannya tidak mudah tp dia sangat berpengaruh, sehingga dia dianggap sebagai salah seorang pemikir terbesar dalam bidang filsafat moral.
Kant meneyebutkan, suatu perbuatan hendaknya didasarkan pada sebuah kewajiban. Karena bertindak sesuai dengan kewajiban adalah legalitas utama. Bagi Kant perbuatan dapat masuk dalamtarap etik jika perbuatan tersebut karena kewajiban.
D.    Etika Dalam Islam
Jika melirik makna etika dalam konteksnya, pada dasarnya etika dalam sudut pandang keilmuan maupun maknanya secara istilah digunakan sebagai sudut pandang dalam kehidupan. Pengaturan akan kehidupan dalam bentuk tingkah laku keseharian dari individu kemudian mejadi kebiasaan kolektif dalam bentuk mesyarakat bahkan hingga Negara. Dalam bahasa agamnya adalah, jika dalam setiap individu telah termuat nilai-nilai positif, mengedepankan nilai-nilai etik dalam praktek kesehariannya maka dalam sekala yang lebih besar akan melahirkan kedamaian, ketentraman dan ketenangan yang terjaga dalam masyarakat.
Dalam segi teoritis, etika di identikkan dengan ilmu ahklak. Akhlak sendiri merupakan kata yang memiliki arti mendekati moral. akhlak berasal dari bahasa arab yang berarti tabiat, watak budi pekerti, perangai dan adat istiadat atau kebiasaan.[37]
 Kata ahlak yang merupakan bentuk jamak dari kata hulk mempunya akar kata yang sama dengan kata khalik (pencipta, Tuhan) dan mahkluk (yang diciptakan), yaitu dari asal kata halaka (menciptakan). Dalam kata akhlak tercakup pengertian terciptanya kepertaduan antara kehendak khalik dengan prilaku manusia sebagai mahkluk. Baik prilaku seseorang dengan orang lain maupun dengan lingkungannya.[38]
Jadi, baik atau buruk, benar atau salah secara moral dapat diukur dengan seberapa jauh hal itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini dapat diketahui dengan mempelajari wahyu yang diturunkannya berupa Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang dapat menuntunnya pada kebahagiaan di dunia dan akherat.
Ahklak untuk kemudian digunakan untuk menyelarasakan aktifitas manusia sesuai dengan kehendak Tuhan, baik yang berhubungan dengan manusia dengan manusia yang lain maupun dalam masyarakat tempat hidup manusia.
Ahklak sebagai ilmu diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang lurus yang harus diperbuat.[39]
Terkait dengan pengertian ini Amin Abdullah dengan jelas membedakan antara akhlak dan etika kata ahklak dalam Islam disamakan dengan moral yang merupakan suatu paket atau produk jadi yang bersifat normatif, mengikat dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim.
Akhlak dalam Islam kedang disebut sebagai tasawuf yang merupakan seperangkat tata nilai keagaaan yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa dipertanyakan secara kritis terlebih dahulu.
Sedangkan etika merupakan studi kritis terhadap moralitas tersebut.[40] Senada dengan Amin Abdullah, Haidar Bagir menyamakan ahklak dengan moral, yang lebih merupakan suatu nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu dari akhlak atau dapat dikatakan etika adalah ilmu yang mepelajari perihal baik dan buruk.[41]
Dalam Islam landasan akan niali-nilai Etik telah tertata rapi baik yang berasal dari rujukan primer (Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw) maupun dari rujukan sekunder (pemikiran para tokoh-tokoh muslim dalamhal etika). Tinggal bagaiman sebagai manusia yang berfikir mampu menelaah konsep tersebut menjadi lebih bermanfaat dan mudah dalam menerapannya dalam keseharian.
Dalam prakteknya setidaknya terdapat cara-cara yang dapat dilakukan seorang muslim dalam memahami landasan primer maupun sekunder dalam islam agar etika dapat menjadi budaya dalam berkehidupan. Tentusaja etika yang dimaksud adalah etika yang bernafaskan Islam sehingga akan terasa syiar Islam bagi kalangan yang lain.
a.      Al-Qur’an Sebagai Sumber Rujukan
Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruuh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami…” (Asy-Syuura : 52)[42]
Dalam kaidah Islam seorang muslim dalam setiap tindak-tanduknya hendaknya mengacu kepada sebuah dogma yang digunakan sebagai rujukan utama yakni Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an memang secara implisit memberikan kerincian dalam kehidupan ber-etika. Namun sesungguhnya nilai-nilai yang universal akan etika telah terdapat secara gamblang di dalam Al-Qur’an. Karenanya dalamIslam Etika sangat penting untuk di kaji dan tentunya dilaksanakan dalam proses keseharian.
Yang membedakan etika dalam Islam dengan konsep etika dalam kajian filsafat adalah sudut pandang yang digunakan. Dalam Islam keterlepasan akan dogma tidak mungkin dilakukan. Atau dalam bahasa yang berbeda, seorang muslim adalah mereka yang menggunakan wahyu dalam setiap kehidupannya. Setidaknya hal yang demikian telah ada tuntunannya di dalam Al-Qur’an yang berbunyi : “Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberikan rahmat.” (Al-An’am : 155).[43]
Keterlibatan rasio sebagai instrument tetap ada. Hanya saja telah tersedianya sarana rujuakan yang baku justru mempermudah kaum muslim dalam menerapkan konsep etika dalam kesehariannya. Jika dalam filsafat kurun waktu dan sejarah mempengaruhi proses lahirkan berbagai macam aliran  dan pandangan dalam etika, lain halnya dalam Islam. Etika di atur dan diarahkan agar sesuai dengan konteks dan dogma dalam Islam. Namun demikian, kemudahan-kemudahan yang ada tidak menjadikan umat Islam tertutup dalam hal kreatifitas. Hal ini ditunjang dengan sifat universalitas Al-Qur’an.
b. Problematika Pengejawantahan Al-Quran
hingga kini yang menjadi kendala utama dalam proses peng-interpretasian nilai-nilai Al-Quran termasuk dimensi etiknya adalah kurangnya kesadaran dari umat Islam itu sendiri.  Al-Qur’an sebagai fungsinya yang “Rahmatan Lilalamiin” belum sepenuhnya digunakan sebagai rujukan utama dalam segi apapun sehingga terkadang segala bentuk yang berbau dokmatik tidak dilirik oleh kalangan yang memiliki sudut pandang skeptis terhadap dokma.
Umat Islam sendiri (terutama sebagian besar umat Islam di Indonesia) pada dasarnya sudah tidak lagi melirik dimensi etika dalam Al-Qur’an, hal ini lah yang menjadikan kemerosotan tajam dalam relitas seperti sekarang ini.
Telah banyak konsep-konsep dilahirkan oleh para tokoh dalam Islam mengenai konsep etika. Termasuk dalam konsep etika yang terkait dengan belajar mengajar. hanya saja kelemahan yang mendasar adalah penerapan akan konsep yang ada sangat lemah.
Gambaran yang dapat diberikan adalah pada dasarnya kaum muslim telah mengetaui bahwa sejak masa sahabat hingga masa kejayan Islam Al-Qur’an hanya difungsikan sebagai hiasan dinding-dinding, pelengkap pada lemari atau rak buku dan bahkan lebih ironi lagi disimpan ditempat yang tertutup. Keberkahan Al-Qur’an terletak pada kesungguhan dalam mengikuti (itba’) dan mengamalkannya. Yang dimaksudkan dengan itba’ dalam Al-Qur’an adalah menjadikannya panutan (imam) yang menuntun kita. Bukan sebaliknya Al-Qur’an diposisikan dibelakang kita dan diabaikan.[44]     
Al-Qur’an adalah suatu suatu ajaran yang berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah tindakan politik, keagamaan ataupun sosial, dipandang Al-Qur’an sebagai ibadah atau pengabdian kepada Allah swt. Karena itu, Al-Qur’an mengutamakan semua penekanan-penekanan moral dan factor-faktor psikologis yang melahirkan kerangka berfikir yang benar bagi tindakan.
Dia memperingatkan manusia akan kesombongan dan rasa cukup diri (self-sufficiency) , yakni humanisme murni di satu pihak, putus asa serta patah semangat dipihat lain.[45]
Etika dalam sudut pandang Islam, bukan hanya pertanggung jawaban kepada manusia beserta konsekuensi yang ada, namun lebih jauh lagi. Kerangka berfikir yang dibangun dalah bahwa jauh disana terdapat figure tunggal yang absolute yang telah menyediakan ganjaran dan tempat yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh manusia.
Karenanya, dalam bahasanya yang sering kita temui, Al-Qur’an selalu dan terus menerus mendesak agar manusia selalu menjalankan dan waspada (taqwa) dan takut serta waspada disatu pihak, namun menegaskan menegaskan dan rahmat Allah dan kebaikan esensial manusia di lain pihak.

E.     Etika Belajar Mengajar
 Jika membahas mengenai etika maka kita tidak bisa lepas dari filsafat sebagai konsep awalnya. Pendidikan yang dikaitkan dengan dunia akademik keilmuan sangat terkait erat dengan nilai-nilai etika. Dalam pendidikan yang didalamnya terdapat proses belajar mengajar, dimensi etika menancapkan posisinya sebagai landasar dasar yang penting. Bagaimana sikap dan tingkah laku seorang pendidik maupun yang didik dalam proses penyampaian ilmu yang menentukan seberapa besar ilmu tersebut dapat terserap. Lebih jauh lagi bermanfaat bagi dirinya dan tentu saja orang lain.
Pengertian pendidikan penjadi penting untuk diketahui agar penyampaian makna yang sesungguhnya akan nilai etika dalam proses belajar mengajar menjadi mengarah dan proporsional.
  1. Etika Belajar Mengajar
  1. Pengertian Etika Belajar Mengajar Secara Filosofis
Etika dalam kenyataanya telah menempatkan dirinya pada posisi yang paling sering untuk dikaji dan terapkan dalam kesehariannya. Etika memberikan kepada manusia orientasi bagaiman menjalankan kehidupannya agar tidak menimbulkan masalah[46] dalam kehidupan. Etika pada akhirnya membantu manusia dalam mengambil sebuah tindakan mana dan apa yang hasrus dilakukan dan mana serta apa yang hendaknya di jauhi.[47]
Etika yang ada dalam proses belajar mengajar, secara jelas dapat kita simpulkan dengan menggunakan pendekatan yang ada di atas. Pengetahuan manusia terhadap pemilihan sikap dalam proses belajar mengajar sangat menentukan hasil dari pendidikan (belajar mengajar). seorang murid yang beretika akan berbeda dengan murid yang tidak mengindahkan ketentuan dalam proses belajar mengajar. demikian juga dengan tenaga pendidik.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertin-dak secara etis. Etika pendidikan merupakan penetapan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh seluruh aktor dalam keberlangsungan proses belajar mengajar atau apa yang seharusnya dijalankan oleh pelaku proses belajar mengajar dan tindakan apa yang bernilai dalam kegiatan belajarmengajar tersebut.

  1. Pengertian Etika Belajar Mengajar dalam Islam
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir.
Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah proses belajar mengajar yang biasa disebut dengan pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan.
Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Al-Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Etika belajar mengajar dalam Islam adalah sebuah fitrah yang telah dimiliki oleh Islam itu sendiri. Bukan saja sebagai agama, Islam sebagai pandangan hidup juga pada dasarnya mengandung nilai-nilai etika. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga seluruh dimensi dalam kehidupa manusia.
Perbedaan yang sangat jelas dengan konsep sebelumnya dalah etika belajar mengajar dalam Islam mengambil nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sehingga penerapannya mengacu kepada dogma dan otomatis pelaksanaannya tidak bertentangan dengan dogma yang ada dalam Islam.






 BAB III
PEMIKIRAN YUSUF AL-QARDHAWI TENTANG
ETIKA BELAJAR DAN MENGAJAR

A.     Corak Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi
  1. Biografi Intelektual Yusuf Al-Quradhawi
Dr. Yusuf al-Qaradhawi lahir di Desa Shafat at-Turab, Mahallah al-Kubra, Gharbiah, Mesir, pada 7 September 1926. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan al-Qaradhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat beliau berasal, yakni al-Qardhah. Diusianya yang ke 10 tahun, beliau telah mampu menghafal Al-Qur’an al-Karim.[48]
Sesudah menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, beliau meneruskan pendidikan ke Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo dengan mengambil kajian bidang studi Al-Qur’an dan As-Sunnah[49], Hingga menyelesaikan program doktor pada tahun 1973. Untuk meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar, Kairo, beliau menulis disertasi dengan judul “Zakat dan Pengaruhnya dalam Mengatasi Problematika Sosial”.[50]
Disertasi ini telah dibukukan dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk dalam edisi bahasa Indonesia. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.[51]
Yusuf Al-Quradhawi sembat terhambat dalam proses pencapaian gelar doktornya. Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar.
Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya. Selain itu, pada tahun 1957, Yusuf al-Qaradhawi juga menyempatkan diri memasuki Institut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tinggi dengan meraih diploma tinggi bahasa dan sastra Arab.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam “pendidikan” penjara pada usia mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, beliau sempat masuk tahanan pada tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun. Hal ini dikarenakan keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin.
Pada bulan April tahun 1956, Qardhawi muda sempat kembali ditangkap saat terjadi Revolusi Juni di Mesir, akibatnya bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama 2 (dua) tahun.
Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.[52]
  1. Karir, Konstribusi Dan Aktifitas Yusuf Al-Quradhawi
karir awal Qardhawi terjadi sejak usianya yang masih sangat muda. Walaupun beliau belum menyelesaikan jenjang pendidikan doktoralnya, beliau telah turut dalam proses pendirian Fakultas Syariah di universitas Qatar.
Banyak pujian dan sanjuangan dialamatkan kepada beliau selaku pemikir kontemporer Islam. Setidaknya ada beberapa kutipan dari beberapa tokoh yang menilai Qurdhawi sebagai berikut :
a.       Hasan al Banna : “Sesungguhnya ia adalah seorang penyair yang jempolan dan berbakat.”
b.      Imam Kabir Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz mantan mufti kerajaan Saudi dan ketua Hai’ah Kibarul Ulama berkata: “Buku-bukunya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam.”
c.       Imam al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-ahli hadis terkemuka abad 20 berkata, “Saya diminta (al Qaradhawy) untuk meneliti riwayat hadis serta menjelaskan kesahihan dan ke dha’ifan hadis yang terdapat dalam bukunya (Halal wal Haram). Hal itu menunjukkan ia memiliki akhlak yang mulia dan pribadi yang baik. Saya mengetahui semua secara langsung. Setiap dia bertemu saya dalam satu kesempatan, ia akan selalu menanyakan kepada saya tentang hadis atau masalah fiqh. Dia melakukan itu agar ia mengetahui pendapat saya mengenai masalah itu dan ia dapat mengambil manfaat dari pendapat saya tersebut. Itu semua menunjukkan kerendahan hatinya yang sangat tinggi serta kesopanan dan adab yang tiada tara. Semoga Allah SWT mendatangkan manfaat dengan keberadaannya.”[53]
Yusuf Al-Qardhawi akhirnya  dikenal sebagai seorang cendekiawan dan ulama Islam yang punya pikiran kedepan. Tidak hanya sebagai tenaga pendidik, Qardhawi adalah seorang penceramah dan pemateri yang cakap. Sikapnya yang santun san ramah serta netral dalam memposisikan diri menjadikan dirinya mudah diterima oleh kalangan-kalangan yang berbeda.
Yusuf Al-Qardhawi adalah seorang penulis produktif dan aktif dalam menyiarkan wajah Islam baik pada dunia Islam itu sendiri atau pada wajah dunia barat. Kini selain disibukkan oleh kegiatan menulis buku, artikel, ceramah dimedia elektronik, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi juga menjabat sebagai gurubesar di universitas Qatar. Jabatannya sekarang adalah direktur “Pusat Kajian Sunnah dan Sejarah Nabi” di Universitas yang sama.[54]
  1. Metode Ijtihat Yusuf Al-Qaradhawi
Manusia tidak akan bisa lepas dari sejarah yang membesarkannya. Lingkungan yang ada di sekitar kita memiliki peran penting dalam pembentukan karakter dan pola piir. Pada hakekatnya seluruh yang ada dalam diri kita adalah gabungan dari bagian-bagian parsial yang kita dapatkan dari alam dan hasil interaksi yang kesemuanya tidak terlepas dari proses perenungan.
Masih ingat ketika seorang anak bertanya kepada ibu atau ayahnya tentang sesuatu yang menurutnya baru dan unik. Proses ini adalah proses awal manusia berusaha untuk mendapatkan informasi. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan yang sederhana hingga pertanyaan-pertanyaan yang rumit diajukan oleh manusia.
Hanya saja, yang membedakan manusia dengan mahkluk Allah swt lainnya adalah adanya karunia akal (rasio) yang ada pada dirinya. Keradikalan pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya mampu untuk terjawab dengan menggunakan akal dan seluruh panca indera yang manusia miliki sebagaimana telah menjadi sifat lahiriah manusia.
Secara filosofis seorang muslim telah melakukan hal yang saman dengan kalangan yang membelakangi agama dalam proses pencarian keilmuannya. Hanya saja yang memberdakan seorang muslim dengan kalangan yang lain adalah acuan dan panduan yang digunakan dalam proses pencarian.
Dalam menjawab berbagaimacam pertanyaan-pertanyaan, Islam memiliki landasan yang kuat yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw, yang jika berpatokan kepada keduanya maka tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan dunia. Lalu pertanyaannya, apakah sesederhana itu keadaan kehidupan umat Islam?
Dalam prakteknya walaupun dalam kehidupan umat Islam telah memiliki landasan yang kuat, namun rasa bimbang dan kemudian melahirkan perpecahan tidak dapat terhindarkan. Disini dibutuhkan kedewasaan dan pemahaman yang menyeluruh mengenai dua landasan tersebut.
Yusuf Al-Quradhawi, adalah pemikir yang dibesarkan oleh sejarah akademik yang mumpuni. Diusianya yang ke 10 tahun beliau telah mampu menghafal Al-Qur’an dan memiliki kefasehah dlam pengucapannya.
Studi yang beliau tempuh juga berkaitan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, karenanya secara psikologis dalam diri Yusuf Al-Qaradhawi adalah pemikir yang memiliki landasan dan tradisi bayani[55] yang kuat. Namun pola pemahamannya akan realitas sangat fleksibel dan bijak.
Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa Islami dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya.
Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam. Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa, keunikan dan keistimewaanya itu dimilinya dalam bentuk keunikan dalam metodologi dan penyampaian risalah Islam.
Dengan keramahan metodologinya itulah dia mudah diterima di kalangan dunia barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun dan moderat. Kapasitasnya yang berpengaruh serta pemikirannya yang unik, membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun di Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.
Dalam lentera pemikiran dan dakwah Islam, kiprah Yusuf Qardhowi menempati posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer, waktu yang dihabiskannya untuk berkhidmat kepada Islam, bercearamah serta menyampaikan masalah-masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara menjadikan pengaruh sosok sederhana yang pernah dipenjara oleh pemerintah Mesir ini sangat besar di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pergerakan Islam kontemporer melalui karya karyanya yang mengilhami kebangkitan Islam moderen.[56]
  1. Karya-Karya Yusuf Al-Quradhawi
Dalam hal karya, sudah banyak sekali tulisan baik dalam bentuk buku, artikel dan ceramah beliau yang tersebar diseluruh Negara-negara Islam. Setidaknya sekitar 125 buku yang telah beliau tulis dalam berbagai demensi keislaman.
Kurang lebih ada 13 aspek kategori dalam karya karya Qardhawi, seperti masalah masalah : Fiqh dan Ushul Fiqh, Ekonomi Islam, Ulum Al Quran dan As Sunnah, Akidah dan Filsafat, Fiqh Prilaku (etika), Dakwah dan Tarbiyah, Gerakan dan Kebangkitan Islam, Penyatuan Pemikiran Islam, Pengetahuan Islam Umum, Serial tokoh-tokoh Islam, Sastra dan lain sebagainya.[57]
sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, tercatat, sedikitnya 55 judul buku Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Selain tugas pokoknya sebagai pengajar dan da’i, ia aktif pula dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu saudara-saudaranya, umat Islam, di berbagai belahan dunia.
Secara eksplisit setidaknya dapat kami sebutkan beberapa karya beliau antara lain :
a.       Al-Halal wal Haram fi Al-Islam
b.      Al-Iman wa Al-Hayah
c.       Al-Ibadah Fi Al-Islam
d.      Musykilat Al-Faqr Wakaifa ‘Alajaha Al-Islam
e.       Al-Khasooish Al-Ammah Li Al-Islam.[58]

B.     Landasan Normatif Etika Belajar Mengajar Yusuf al-Quradhawi
1.      Landasan Teologis
Teos dalam bahasa Yunani memiliki makna “Tuhan” dan Logos memiliki makna “Ilmu” jadi secara bahasa teologi memiliki arti Ilmu tentang Tuhan. Secara istilah teologis memiliki makna sebuah disiplin keilmuan yang membahas entang ke-Tuhanan. Jika dalam bahasa Islam Teologi biasanya disebut dengan ilmu kalam. Pada dasarnya keduanya memiliki arti yang sama.
Landasan teologis dipandang oleh Yusuf Al-Qaradhawi sebagai landasan normatif bagi etika dalam Islam. Hal ini karena di dalam teologi Islam dikemukakan mengenai peran manusia menurut Islam.
Dengan mengutip pendapat Al-Raghib, Al-Asfahani, Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan bahwa manusia memiliki 3 peran dimuka bumi ini yaitu peran untuk mengabdi (beribadah kepada Allah, peran sebagai wakil Allah, dan peran sebagai pembangun peradaban).[59]
Beribadah, adalah fitrah manusia bahwa keberadaannya di muka bumi adalah hanya untuk meribadah kepada Allah. Keberadaannya yang demikian, harus menuntut pengetahuan yang cukup perihal konsep telogis dalam Islam.
Sebagai seorang Muslim, Qaradhawi memiliki landasan teologis yang jelas. Keyakinan akan Allah sebagai zat yang absolut dan tunggal telah tertanam sejak usia dini karena beliau dibesarkan dalam lingkungan Islam.
Kemampuan nya menghapal dan mengerti arti dari Al-Qur’an (hafiz) membuatnya lebih mudah dalam menentukan kemana landasan teologis ditancapkan. Allah swt sebagai zat yang menentukan dan menciptakan setidaknya itulah keyakinan Qaradhawi dalam dimensi teologisnya.  

2.      Landasan Etis
Dalam sudut pandang Yusuf Al-Qaradhawi, etika Islam dipandang sebagai salah satu landasan etika dalam bidang apapun dengan acuan yang jelas (Al-Qur’an dan Hadits). Hal ini karena akhlak dalam Islam mencakup akhlak kepada Allah swt, ahklak kepada manusia, maupun kepada mahkluk ciptaan Allah yang lain.
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi  salah satu prinsip etika Islam yang harus dipegang oleh manusia dalam berkehidupan adalah prinsip berbuat kebaikan (al-ihsan).[60] Kebaikan merupakan landasan dasar yang diusung oleh seluruh nilai-nilai etika Islam. Hal ini tertuang dalam Al-Quran maupun Hadits nabi Muhammad. Islam mengatur secara rinci mulai dari kehidupan yang umum hingga prinsipil dalam diri dan kelumpok yang ada pada manusia.
Hal ini yang membuat Yusuf Al-Qaradhawi meyakini bahwa segala bentuk kajian yang berkaitan dengan tingkah laku, baik dan buruk adalah hubungan yang saling berkelindan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Allah swt. 
3.      Landasan Al-Quran dan As-sunah
Islam merupakan agama yang diperuntukkan bagi seluruh alam semesta, setidaknya itu yang diyakini oleh seluruh umat Islam sedunia. Kerincian ajaran dan keteraturan konsep membuat Islam mudah menyebar dan mudah diterima. Namun demikian perjalanannya tidak semudah yang dibayanglam.
Al-Qur’an merupakan firman Allah swt yang secara langsung diturunkan dalam bahasa manusia (arab). Bukan bahasa yang menjadi titik kaji disini, namun nilai dan semangat yang diusung oleh Al-Quran yang perlu di ambil I’tibar dalam kehidupan. Posisinya sebagai pedoman dan acuan hidup umat Islam harus di barengkan dengan keseriusan dalam prakteknya.
Bahkan kebesaran nilai yang ada digambarkan secara langsung oleh Allah dalam Firmannya yang berbunyi :”Sekiranya kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka berfikir ” (Q.S Al-Hasyr : 21)[61] .
Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah firman Alah (kalam Allah). Nabi Muhammad juga telah menyampaikan dengan tidak sedikitpun ada keraguan bahwa dirinya adalah Rosul Allah, hal ini yang menyebabkan setiap ucapan nabi adalah panduan dalam memahanmi firman Allah yang universal. Nilai-nilai dasar Al-Quran pada dasarnya merupakan gambaran akan sifat dan kebijaksanaan Allah sebagai penyampai firman.
Sifat-sifat kekuasaan atau keagungan, kewaspadaan atau keadilan serta kebijaksaan adalah atribut yang jelas digambarkan Al-Qur’an mengenai Allah swt.[62] Setidaknya demikian yang ada dalam pandangan Para pemikir Islam. Tinggal penyesuaidengan konteks hidup yang menjadi pemikiran para pemikir Islam termasuk Yusuf Al-Quradhawi.

C.     Konsep Dasar Etika Belajar Mengajar Yusuf Al-Qaradhawi
1.      Urgensi Nilai Pendidikan
Diantara aspek yang terpenting dalam dunia pendidikan adalah aspek kejiwaan atau ahklak. Jiwa atau ahklak adalah tonggak utama dalam proses penanaman nilai-nilai luhur pada manusia (iman). Dalam tulisannya mengenai konsep pendidikan Hasan Al-Banna, Yusuf Al-Qardhawi menekankan pentingnya peran serta pembesar (pemimpin) dalam proses penanaman ahklak pada masyarakat. Jika dalam struktur pendidikan maka yang paling berperan adalah guru dalam pembentukan nilai etika pada murid.[63]
Dalam sebuah sair disebutkan :
Demi Hidup mu, tidaklah negeri sempit karena penduduknya. Tetapi yang menjadikannya sempit ialah ahklak pemimpin-pemimpinnya
            Uangkapan dari sair tersebut bukanlah utopia belaka, kapasitas anak didik dalam dunia pendidikan sejak zaman dulu hingga kini tergantung dari bagaimana pemimpin (guru) dalam melakukan proses pendidikan. Guru yang baik maka akan melahirkan generasi-generasi yang baik dan ber etika.
            Namun jika kapasitas pendidik tidak memadai, maka out put yang dihasilkan akan “jauh api dari panggang”. Karenanya perhatian akan kapasitas pendidik harus menajadi salah satu prioritas utama.
  1. Nilai-Nilai Positif Bagi Pendidik
a.1) Menjauhkan Hal-Hal Yang Tidak Bermanfaat
Sebagai pendidik hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Banyak hal yang berkaitan dengan kasus-kasus pendidik yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat dalam proses belajar mengajar. dalam bahasa Yusuf Al-Qardhawi, hendaknya meninggalkan masalah-masalah yang tidak berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Allah swt telah menyalahkan Bani Israel tentang banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, pertanyaan-pertanyaan yang ada melahirkan tindakan yang tidak penting pula. Karenanya sebagai pendidik hendaknya menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

a.2) Berpendirian Teguh dan Berlaku Adil
bertakwalah kepada Allah dan bertindak adillah
diantara anak-anakmu.” (H.r Muttafaq alaih).
Kata-kata (sabda) Nabi Muhmmad adalah wahyu yang harus di tadaburi, lebih-lebih firman Allah dalam ayat suci Al-Qur’an. Seorang pendidik seperti halnya yang disabdakan nabi, keadilan dam memperlakukan peserta didik akan menjadikan mereka terperhatikan dan tidak adanya kevemburuan sosialdan kesenjangan antar murid. Disisi yang lain, tanpa di tadaburipun dengan melaksanakan sabda nabi dengan apa adanya telah termasuk melaksanakan hikmah, karena hikmah yang dimaksud adalah bagaimana penjabaran dari sabda yang ada.
Yakinkan dalam hati bahwa sesungguhnya Allah tidak memerintahkan sesuatu dan tidak melarang sesuatu tanpa adanya hikmah. Allah swt berfirman “… ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan sesuatu dengan sia-sia….” (Q.S Ali Imran : 191).[64]
Berpendirian teguh tidaklah sama dengan idealisme yang akut. Berpendirian teguh adalah sikap kepastian dalam bersikap dalam menghadapi segala bentuk permasalahan yang pelik. Sikap terbuka dan mau menerima saran adalahbagian dari pendirian yang teguh, bukannya menutup diri dan menganggap diri sebagai yang paling banar dan dengan serta merta menyalahkan orang lain.
2.      Hal-hal Yang Harus di Jaga dalam Proses Pendidikan
a.      Menjaga Kesehatan
sesungguhnya bagi badan mu ada haknya ke atas diri mu
kesehatan badan dan terhindarnya dari penyakir merupakan sarat yang utama bagi Yusuf Al-Qardhawi dalam proses pendidikan. Karena dengan sehat dan tidak adanya penyakit, akal akan mudah menyerap berbagai macam informasi yang masuk ke dalam otak.
Demikian juga sebaliknya, dengan terganggunya kesehatan, maka ilmu akan sulit untuk msuk ke dalam otak. Banyak yang meyakini bahwa akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat. Tubuh yang sakit tidak mungkin mungkin mampu menjalankan tugasnya dengan baik yakni menyerap beragam disiplin ilmu. Karenanya menurut Yusuf Al-Qardhawi perlunya menjaga diri dengan menjauhkan beberapa hal antara lain :
3.      Jangan berjaga hingga larut (bergadang).
4.      Jangan merokok.
5.      mengurangi minum kopi dan teh.[65]
b.      Istiqamah dalam Pengamalan Ilmu
Allah telah memberikan kemudahan bagi kita dalam mengakses segala bentuk informasi yang ada disekitar kita. Dengan adanya panca indra segala bentuk yang empiris dapat ditangkap dengan mudah. Allah juga memudahkan kita dalam mengakses segala bentuk keinginannya terhadap manusia, hal ini dapat kita lihat pada Al-Qur’an sebagai firmannya.
Sekarang merupakan bentuk interpretasi dari hasil perenungan dan penelitian dari segala bentuk yang dibaca dari panca indra dan pemahaman kita terhadap kitab Allah yakni Al-Qur’an yang berisikan tentang manusia, dunia, alam dan gambaran akherat (yang ghaib).
Di era serba capital seperti sekarang ini, ilmu merupakan barang yang mahal untuk didapatkan. Diperlukan uang berjuta-juta guna mendapatkan keilmuan yang diakui dan sah dimata struktur buatan manusia. Namun demikian, Yusuf Al-Qardhawi menekankan akan pentingnya keilmuan yang bersandar kepada Al-Qur’an dan kemudian diamalkan dalam kehidupan. [66]
Penekananya terdapat pada pengamalannya, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi : “jika aku perintahkan kepadamu tentang sesuatu maka lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu, dan apa yang aku larang kepadamu maka tinggalkanlah” (Hr. Bukhari dan Muslim).[67]
Karenanya dalam pengamalan keilmuan pada dasarnya masuk dalam anjuran utama dalam Islam, dalam Ushulussalasah[68] dijelaskan bahwa mengamalkan keilmuan yang diperoleh merupakan rukun yang terdapat di dalam konsep ketauhidan.
KEWAJIBAN ORANG ISLAM
Ilmu
                                  Amal     
                                                                        Da’wah                                                                                                                                                        sabar
Wajib bagi setiap orang islam dalam menuntut ilmu, dan kemudian mengamalkan keilmuannya. Pada tahapan yang ketiga, diwajibkan menda’wahkan keilmuan yang didapat dengan tujuan beribadah kepada Allah dan menasehati saudara sesame muslim yang menyimpang dari ajaran-Nya. Tahap yang terakhir yang dgambarkan oleh Ibn Taimiyah adalah sabar, kunci dari semua dimensi yang telah digambarkan adalah sabar, nilai yang diusung mencakup keseluruhan nilai.
3.      Mengunakan Nilai-Nilai Islam Dalam Berkehidupan
a. Al-Quran Sebagai Landasan Primer Pertama
Sudah semestinya, setiap muslim mengetahui bahwa Allah telah menurunkan firmannya (Al-Qur’an) “untuk menjelaskan segala sesuatu” (Q.s An-Nahl : 89), seperti diturunkan oleh zat yang menurunkannya(Allah swt). Ia merupakan pedoman bagi setiap pribadi dan undang-undang bagi sebuah masyarakat. Ia juga merupakan pedoman praktis yang menjamin dasar yang mengarah bagi kehidupan pribadi, hubungan manusia dengan Tuhan nya, hubungan diri dengan alam dan sekitarnya.[69]
Karenanya hubungan manusia dengan Allah adalah seperti halnya tergambar dalam firman-Nya yang berbunyi :
Katakanlah, ‘sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.’ Katakanlah, ‘sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhan ku. Katakanlah, ‘hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku. ‘Maka sembahlah oleh mu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah, ‘sesungguhnya orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri dan keluarganya pada hari kiamat. ‘ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata’. (Q.S Az-Zumar : 11-15)
Islam telah mengatur seluruh dimensi dalam kehidupan. Sejak manusia bangun tidur, hingga tidur kembali Islam mengaturnya dengan detail. Bentuk kegiatan yang formal hingga kegiatan manusia yang sangat prinsipil diatur seluruhnya dalam Islam. Keluasan makna yang ada dalam Al-Qur’an dijelaskan dengan gamblang di dalam Hadits nabi Muhammad. Hal ini lah membuat Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang menyeluruh.
Sebagai sebuah ideal yang diletakkan dalam posisi tertinggi oleh “komunitas” umat Islam, maka tidak berlebihan jika Al-Qur’an dicita-citakan sebagai pengkondisi tertinggi bagi proses kehidupan bernalar dan bertingkah laku setiap muslim. Dalam realitas sejarahnya, Al-Qur’an merupakan sunber inspirasi dan kreatifitas berfikir umat Islam. Nilai-nilai ini yang kemudian diusung oleh kalangan yang meninginkan pengkondisian absolut hanya oleh Al-Quran.[70]
Al-Quran sebagai referensi utama dalam Islam, dalam kenyataanya memuat berbagai macam pandangan dalam kehidupan, sejarah, sains, etika, hingga petunjuk dan prediksi masa depan seluruhnya di dalam Al-Qur’an. Namun demikian, gambaran yang ada ditunjukkan dengan sifat-sifat yang global (tidak secara spesifik dijelaskan). Karenanya kemudian muncul erbagai macam penafsiran yang terkaid dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasabih.
Namun yang membedakan adalah, ada kejelasan yang cukup dapat dimengerti oleh orang awam sekalipun perihal tuntunan dalam tingkah laku manusia, hal ini kebanyakan dijelaskan dalam bab fiqih. Walau terjadi berbagai macam perbedaan, namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi sebuah kendala yang berarti.
b. Hadits Nabi Sebagai Landasan Primer Kedua
Disamping Al-Qur’an, terdapat hadits[71] Nabi yang dapat digunakn sebagai landasan yang utama setelah Al-Quran. Bahkan pada dasarnya Hadits menjelaskan bagaimana mengerjakan apa yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an. Hal ini terutama dalam bab ibadah dan muamalah. Demikian juga dalam proses belajar mengajar (pendidikan) juga demikian, etika yang diusung oleh Islam berkaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.



D.    Faktor-Faktor Yang Merusak Etika belajar Mengajar
Tanpa disadari, pada dasarnya ada beberapa hal yang menjadi kendala-kendala yang menyebabkan kenapa seseorang merasa terhambat dalam mendapatkan pengetahuan.
Karenanya, perlu diketahui bahwa tanpa sadar, terkadang seluruh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan (proses belajar mengajar) melakukan tindakan-tindakan yang menghambat keilmuan tersebut sehingga tidak secara maksimal terserap atau tidak secara maksimal tersampaikan.
1.      Bermalas-Malasan Dalam Proses Belajar Mengajar
Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa yang seharusnya dilakukan pada diri kita adalah menanamkan dalam hati kita bahkan menjadikannya sebuah keimanan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk merubah diri dan masyarakat. Memang di harus diakui bahwa dalam mencari ilmu (berkecimpung dalam dunia pendidikan) sama halnya menempuh jalan yang panjang dan berliku, karenanya hanya orang berkeinginan keras yang mampu melakukan proses ini.
Yusuf Al-Qardhawi meyakini bahwa tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh guna sampai kepada tujuan kecuali melalui proses pendidikan. Karena penanaman etika dalam pembelajaran baik sebagai pendidik maupun sebagai murid harus benar-benar mendapatkan perhatian.[72]
Karenanya dengan bermalas-malasan dalam mendapatkan ilmu atau mengenyampaikan pentingnya etika dalam belajar mengajar disertakan dengan keseriusan berti memasang ranjau bagi masa depannya. Dalam bahasa yang lebih mudah yaitu tidak adanya keinginan untuk hidup lebih baik di masa depan.
2.      Menuruti Hawa Nafsu
Menuruti hawa nafsu dalam arti negatif yakni menuruti segala keinginan yg tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan sifat yg tidak boleh kita miliki. Bila hal itu kita miliki akan sangat berbahaya tidak hanya bagi kita secara pribadi tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat luas.
Ada banyak akibat negatif yang akan ditimbulkan dari menuruti hawa nafsu tanpa kendali antara lain: 
1.      Menyimpang dari Kebenaran. Orang mengedepankan hawa nafsunya dalam segala hal, terutama dalam mengejar ilmu, maka akan menimbulkan bencana. Banyak hal yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni keinginan untuk mendapatkan gelar yang tinggi namun tidak dibarengi dengan usaha yang sebanding. Maka dengan demikian kecelakaan akan melekat pada dirinya hingga merugikan diri bahkan orang lain.
2.      Sesat dan menyesatkan. Pada dasarnya contoh yang kedua ini merupakan interpretasi dari poin yang pertama, dengan ketiadaan kapasitas sebagai mana yang ada pada dirinya, akan menyesatkan segala macam bentuk tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Karenanya dalam proses belajang mengajar hendaknya dilakukan dengan sabar dan menuruti sega apa yang dititahkan oleh guru. Menuruti etika yang menjadi landasan utama dalam proses pendidikan, merupakan harga mati guna mencapai cita-cita yang diinginkan.
3.      Melampaui batas. Orang yang menuruti hawa nafsu dengan sendirinya akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas. Dalam proses belajar mengajar, banyak sekali kasus kita temui. Seorang guru memukul muridnya, seorang murid bunuh diri karena tidak kuat tekanan ekonomi dan lain sebagainya. Solusi yang ditawarkan oleh Yusuf Al-Qardhawi adalah menggunakan Al-Quran dan Hadits sebagai rujukan dengan mengedepankan nilai-nilai etik kependidikan.
3.      Melenceng dari Al-Quran dan As-Sunnah
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta ” (Q.S Thaha : 124)[73]
Melenceng berarti menyalah gunakan apa yang pada dasarnya pada sesuatu. Yusuf Al-Qurdhawi menegaskan kebanyakan manusia melenceng dari Al-Qur’an dengan tujuan individu. Ada yang menggunakannya sebagai kepentingan individu dan golongan. Ada yang berusaha agar Al-Qur’an sesuai dengan suasana hatinya dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal ini beliau menegaskan “pada dasarnya orang-orang yang berfikiran menyimpang itu ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai “Al-Qur’an temporer” yang berlaku bagi zaman tertentu. Padahal Allah swt berkehendak menurunkan Al-Quran sebagai kitab suci sepanjang zaman”.[74]
Pemahaman akan nilai-nilai Al-Qur’an yang menyeluruh hendaknya dilakukan di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini bertujuan menghilangan stigma negatife tentang Al-Qur’an, juga menghindari akibat taklid yang berlebihan. Selama ini, Al-Qur’an hanya dikonsumsi oleh kalangan yang ingin tau dan mau “membaca” saja, atau minimal penasara terhadap isi (kandungan) Al-Qur’an. Umat Islam sendiri sibuk dengan urusan-urusan dunia yang fana. Karenanya pembumian terhadap Al-Qur’an hendaknya gencar di sosialisasikan agar tercipta kehidupan beragama yang lebih baik.
Sepertihalnya yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Thaha : 124, bahwa siapapun yang berpaling dari peringatan Allah (Al-Qur’an), maka Allah akan menyempitkan kehidupannya. Dalam hal ini, Allah berusaha untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Al-Qur’an petunjuk yang tidak saja dibaca, namun juga dipahami dan hendaknya dipraktekkan segala perintah dan larangannya. 
Dalam proses belajar mengajar, jika seorang pendidik lepas dari nilai-nilai etik yang di usung oleh Islam (AlQur’an dan Sunnah), maka hasil yang akan di raih adalah dekadensi moral yang seperti halnya kita lihat bersama dewasa ini. Nilai-nilai yang diusung tidaklah sama dengan ungkapan “membentuk Negara Islam dengan penerapan syariat islam”, namun maksud dari penerapan nilai-nilai etika yang di maksud adalah melirik kembali proses belajar ala Islam yang telah lama tergantikan dengan metode ala barat. Lebih-lebih mampu mengkomparasikan nilai-nilai positif pendidikan ala barat dengan nilai-nilai etika Islam yang telah ada.













BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI
TENTANG ETIKA BELAJAR DAN MEGAJAR

  1. Etika Belajar Mengajar Yusuf Al-Qardhawi
Yusuf Al-Qardhawi perupakan pemikir yang konsen dalam melakukan kajian terhadap isu-isu yang berkembang dalam dunia Islam kontemporer. Tulisannya yang terkait dimensi etik sendiri tidak hanya terkait dengan etika pendidikan dan belajar-mengajar semata. Namun juga etika yang lain seperti lingkungan dan etika dalam membaca Al-Qur’an. Namun demikian, spesifikasi nilai etika yang beliau singgung tentang etika belajar-mengajar (pendidikan) juga memiliki bobot mutu yang tinggi.   
  1. Prinsip-Prinsip Etika Belajar Mengajar Yusuf Al-Qardhawi
a.      Pemberdayaan Akal Secara Maksimal
Bagi Yusuf Al-Qardhawi, akal merupakan kelebihan yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh mahkluk Allah yang lain yang kasat mata (materi). Allah swt bahkan menurunkan ayat yang pertama dalam bentuk perintah dengan kata “bacalah”, hal menunjukkan bahwa penggunaan akal bukanlah yang remeh temeh.
Dalam belajar-mengajar (dunia pendidikan), akal sangat mendapat peran yang sangat penting, karenanya berkali-kali menurut Yusuf Al-Qardhawi Islam memperingati agar mendaya gunakan akalnya dengan maksimal seperti halnya teguran-teguran Allah di dalam Al-Qur’an. Masih dalam konteks nya dengan pendidikan Qardhawi menegaskan bahwa berfikir dalam Islam adalah ibadah. Menggunakan akalnya secara maksimal dala Islam adalah ibadah. Bagi beliau, mencari bukti dari sebuah kebenaran adalah wajib dan menuntut ilmu adalah fardhu.
Bahkan dalam penutupnya dalam hal akal Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa pendidikan dan pelatihan akan akal, sama wajibnya dengan pendidikan keimanan dan kejiwaan (ruhaniah).[75]
b.      Melatih Kesabaran
Mereka nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mentaati kesabaran” (Q.S Al-Ashr : 3)
Melatih kesabaran adalah hal yang harus dilakukan bagi actor-aktor yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Karena pentingnya Yusuf Al-Qardhawi mengunakan kata “sulir, beronak dan berduri”. Hanya orang-orang yang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi yang mampu menjalankan ujian dalam mencari ilmu yang mampu untuk keluar dan muncul sebagai pemenang.
Qardhawi juga menanamkan perhatian khusus pagi para pendidik agar berlaku bijak dan tidak pilih kasih dalma menyampaikan ilmu kepada para murid. Hal ini beliau tunjukkan dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Q.S Luqman : 17).
c.       Berlaku Toleran Dan Mampu Membaca Bakat Anak Didik
Sebagai pendidik hendaknya mengedepankan sifat toleran kepada peserta didik. Proses belajar mengajar yang mengedepankan nilai-nilai positif akan berimbas kepada hal yang positif pula.
Toleransi dalam dunia pendidikan adalah salah satu dari sekian banyak nilai-nilai positif yang sering sekali terabaikan. Jika pemahaman toleransi ditanamkan sejak dini, maka masa depan akan terbawa kepada arah yang lebih baik. Anak dalam bahasa ulama salaf adalah khalifah[76] yang akan menentukan arah jalan kehidupan di dunia. Jika nilai-nilai toleransi disampaikan sejak dini maka segala bentuk perbedaan yang ada di muka bumi tidak akan menjadi sebuah kendala yang berarti.
Pengarahan kepada anak didik[77] juga merupakan hal yang dicontohkan oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam proses pendidikan. Pemaksaan yang dilakukan terhadap orang tua maupun guru kepada anak didik tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Hal ini termasuk menuruti hawa nafsu dan ini adalah hal yang dilarang dalam proses belajar-mengajar.
d.      Mengutamakan Nilai-Nilai Yang Positif Dan Membangun
Pendidikan dalam pangan Yusuf Al-Qardhawi adalah penekanan akan dimensi keimanan dan ketuhanan yang keduanya saling melengkapi dan menyeluruh. Karena beliau meyakini, dengan adanya konsentrasi kepada dua hal tersebut, maka dengan sendirinya akan terbangun pendidikan yang menginterpretasikan nilai-nilai Islam.
Dalam mewujudkan cita-cita ini, dibutuhkan orang-orang yang memiliki jiwa yang kuat dan keras, bukan mereka yang loyo dan mudah menyerah, sekeptis dan tidak patuh. Karena dalam menghadapi tantangan di dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan keyakinan dan semangat yang tinggi, selain pendidikan kini menjadi syarata utama dalam dunia yang penuh nuansa kapitalis. 
Yusuf Al-Qardhawi juga menekankan akan pentingnya merendahkan diri dihadapan Allah swt. Karena setiap muslim hendaknya meyakini bahwa segala bentuk keilmuan baik materi maupun immateri serta jasadi maupun ruhani adalah berasal dari Allah swt.
Pada dasarnya orang-orang yang alim adalah mereka yang merendahkan diri dihadapan Allah swt, menjaga ucapannya serata tidak menyia-nyiakan waktunya. Demikian juga orang-orang yang ada dalam lingkungan pendidikan, baik pengajar maupun yang objek didik, hendaknya menggunakan waktunya semaksimal mungkin, menjaga lisan dan merendahkan diri di hadapan Allah swt sebagai pemilik segala macam ilmu.
  1. Telaah Kritis Atas Pemikiran Yusuf Al Qaradhawi Tentang Etika Belajar Mengajar
Pada dasarnya konsep yang diusung oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam kaitannya dengan etika belajar mengajar merupakan upaya untuk mengatasi problematika yang ada dalam dinia pendidikan Islam dewasa ini. Nuansa nilai-nilai asing yang masuk dalam konsep pendidikan Islam terasa lebih dominan tenimbang konsep Islam itu sendiri.
Bahkan tidak sering kita temui, dalam proses belajar mengajar baik guru maupun anak didik berpolah tingkah tidak seperti guru dan murid. Mereka hanya melakukan aktifitasnya dengan berlandaskan tuntutan semata. Sang guru melaksanakan tugasnya hanya karena tuntutan profesi dan materi sedangkan murid pergi kesekolah hanya karena menuruti perintah orang tua tanpa tau pentingnya pendidikan. Hal ini karenan tidak adanya interaksi yang ada pada guru dan murid tersebut.
Yusuf Al-Qardhawi memulai langkahnya dalam menyingung pendidikan dengan menggunakan akal. Jika kita fahami, Qardhawi berusaha memberikan pembelajaran kepada manusia dengan teguran “kembalilah kepada Al-Qur’an”. Ketika kita melihat sejarah kenabian, baik yang ditulis oleh umat Islam sendiri hingga para orientalis, maka seluruhnya sepakat bahwa ayat yang pertama kali turun adalah kata “bacalah” (Q.S Al-Alaq :1). Pertanyaannya adalah, “apa yang kit abaca?”
Bukankah Allah swt telah memberkan kita akal untuk berfikir, Allah juga menggelar bumi (beserta isinya) adalam semesta yang seluruhnya kasat mata, apa itu masih kurang sebagai bahan bacaan kita. Setidaknya demikian yang terkandung dalam pesan Qurdhawi dalam konsepnya.
Jika kita analisis lebih jauh dengan pendekatan filosofis, maka akan kidapatkan keluasan dari konsep Yusuf Al-Qurdhawi. Dimulai dengan “manusia” yang dalam bahasa Aristoteles sebagai “makhluk yang berfikir” memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk lain. Dapat kami sekemakan sebagai berikut :








Penjelasan :
a.       Arti secara sempit dan luas (Ma’naha) : dalam kajian filsafat segala sesuatu yang mampu ditangkap oleh panca indera (mata, hidung, telinga, lidah dan kulit) adalah awal dari pengetahuan (ilmu). Informasi yang ditangkap hanya sebatas membahana pada ruang akali semata dan belum melalui konsep perumusan. Namun setelah seluruh informasi yang di dapat oleh panca indera dikaji dan dilakukan perumusan dalam bentuk konsep dan gagasan, lahirkan maka hal tersebut disebut arti secara luas.[78]
b.      Alat (alataha) : setelah panca indera yang biasa diagung-agungkan oleh kalangan empiris digunakan, setidaknya ada 3 (tiga) alat lagi yang dimiliki oleh manusia. Yakni akal, hati dan wahyu. Hal ini sejalan dengan konsep Al-Jabiri dalam memetakan epistemologi dalam Islam.[79]
c.       Sasaran (Maudu’uha) : sasaran adalah objek kaji dengan menggunakan empat alat yang sebelumnya telah disinggung. Setidaknya ada dua abjek kaji yang ada, dalam hal ini yakni teks dan alam. Di alam sendiri terbagi menjadi 2 (dua) yakni apa yang ada dalam diri kita (kajian tentang anatomi) dan juga apa yang ada di luar kita yakni benta mati (batu, pasir, tanah), tumbuhan dan hewan. Seluruhnya adalah ayat-ayat Allah yang harus ditadabburi oleh manusia.
d.      Sedangkan penghalang yang dimaksudkan, adalah adanya kendala dalam kerusakan alat dalam bentuk panca indera dan lain sebagainya.
Jika dalam konsep belajar-mengajar hal ini diterapkan, maka dapat dipastikan Islam akan menemukan kembali ruhnya yang telah lama hilang. Semangat akan kemajuan dan mengejar ketertinggalan tidak akan menjadi hal yang utopia belaka.
Jika kita lihat kenyataannya saat ini, alih-alih mengejar ketertinggalan untuk berjalan saja umat Islam masih terseok-seok. Pendidikan melalui proses belajr-mengejar tentu saja diharapkan ammpu menjadi generator penggubah realitas yang ada saat ini. Dengan konsep yang tepat, landasan etika yang tepat, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Ahklak yang disinggung oleh Qardhawi, adalah tergantung hasil dari proses pemanfatan akal kita, jika kita tidak ampu menggunakan akal kita secara maksimal, maka hasilnya akan sama dengan usaha kita.
Setelah ahklak terbentuk, maka apa yang terjadi dalam proses belajar belajar akan tampak. Hasil dari penerapan etika konsep Al-Qardhawi dapat dilihat jika konsep tersebut diterapkan secara pas dan difahami oleh si pelaksana konsep.
Kepastian dari awal dan tau kemana akan berakhir adalah apa yang kebanyakan orang inginkan, tenimbang banyaknya pemikiran yang justru membuat semakin banyak pilihan pula.


  1. Relevansi Etika Belajar Mengajar Yusuf Al-Qardhawi
  1. Problematika dalam Dunia Pendidikan
a.      Antara Tuntutan dan Bakat
Jika kita menilik jauh dalam realitas pendidikan di Indonesia, maka kita menemukan sebuah kesenjangan dimana ada konstruksi pemahaman yang telah ada dalam cara pandang masyarakat yang terus terjaga dan mengakar hingga saat ini. Ketika pada saat Orde Baru setiap anak yang masih mengenyam Pendidikan Dasar (SD) bahkan Taman Kanak-kanak (TK) selalu diarahkan pada dua pilihan mutlah yakni (pilihan tersebut adalah cita-cita masa depan) Dokter atau Insinyur.
            Tampak jelas bahwa konstruksi pada masa lalu masih menjadi warna dalam sistem pendidikan saat ini dari masyarakat. Setiap anak yang sesungguhnya memiliki bakat yang terpendam akhirnya tidak dapat disalurkan kepada yang semestinya sehingga kalupun dipaksakan, maka hasil yang didapat menjadi tidak maksimal.
            Orientasi dalam bentuk materi demi kepentingan masa depan menjadi sasaran utama dalam pandangan pilihan pendidikan yang dipilih.[80] Hal yang demikian dapat dipahami, karena adanya anggapan bahwa yang dibutuhkan adalah yang dicari.
Namun tanpa disadari hal tersebut justru menghasilkan ketakutan yang besar dalam pandangan setiap orang tua tentang masa depan anaknya sehingga tekanan yang diberikan kepada orang tua sesungguhnya lahir dari cara pandang masyarakat itu sendiri dalam menyikapi realitas.
            Akhirnya dapat ditebak, substansi yang ada dalam pendidikan tidak dapat menemukan arah yang sebagai mana mestinya. Seorang anak yang memiliki bakat melukis misalnya, tidak akan dapat murni menjadi kimiawan dengan mempelajari semua rumus-rumus kimia yang dihadapkan kepadanya. Begitu juga seorang anak yang memiliki cita-cita sebagai musisi dengan bakat musiknya, tidak akan dapat semaksimal mungkin menjadi ilmuan fisika secara utuh.
            Jika selama ini kita selalu menganggap Barat sebagai kiblat kemajuan, mengapa kita juga tidak melihat bagaimana cara mereka mengarahkan bakat anak-anak yang ada disana sehingga menghasilkan hasil yang maksimal ? di Jerman misalnya, sejak dini si anak telah diarahkan pada bakat yang dimilikinya sehingga kebijakan yang di ambil sedikit banyak membantu dalam menopang kemajuan Negara[81]. Seorang anak yang memiliki Bakat olahraga maka telah diarahkan dalam olahraga walaupun juga diperkenalkan dengan disiplin keilmuan yang lain, namun fokus tetap pada bakat yang dimiliki si anak.


b.      Antara Materi Dan Tanggung Jawab
Disadari atau tidak, di zaman ini manusia dihadapkan pada pergulatan tiga idiologi besar dunia yakni Kapitalisme, Sosialisme dan Islamisme. Dalam kenyataannya, pemenang dari tiga idiologi tersebut adalah idiologi kapitalisme. Orang Islam mungkin akan berteriak apakah hal tersebut benar. Jawabannya ada dalam keseharian kita. Jika kebanyakan dari orang indonesia adalah orang Islam maka wajar jika hal tersebut ditanyakan, namun sbelum ia bertanya jawabannya akan singgah dengan sendirinya di dalam benaknya.
Materi sebagai dasar dari kapitalisme, sebuah simbol yang dianggap mampu menjadikan manusia sebagai raja atau hamba. Kaya atau miskin bahkan wibawa atau tak ada harga, semuanya ada dalam satu kata ”materi”.
Dalam bentuknya yang lebih jauh, idiologi ini juga masuk dalam sendi kehidupan manusia selain konsep etika dan norma yang ada pada setiap individu. Seorang pendidik, tidak bisa disalahkan begitu saja ketika harus mengeluh bahwa pendapatannya (materi) tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini juga yang menyebabkan banyak guru-guru yang ada di negara ini mencari pekerjaan sampingan dan dengan demikian tanggung jawab akan tugas utamanya menjadi terganggu. Pilihan yang sulit, ketika dibenturkan dengan ”materi”. Ini adalah gambaran tenaga pendidik yang posisinya sangat fital dalam proses penyampaian ilmu (belajar mengajar) dan melakukan tugasnya dengan ikhlas namun terhambat oleh ”materi”.
Lebih jauh lagi, ada tenaga pendidik yang memang sengaja terjun dalam dunia pendidikan hanya karena mengikuti tren pasar. Banyak yang menganggap bahwa dengan menajadi guru, maka materi akan datang dengan sendirinya. Hal ini juga tidak bisa disalahkan, karena memang sejarah kekininian yang membesarkan manusia lengkap dengan pola pikirnya dibangun di bawah pondasi ”materi”.
2.      Pemikiran Etika Belajar Mengajar Yusuf Al-Qardhawi : Solusi Serta Relevansi Terhadap Realitas
Al-Qardhawi menyinggung perihal lengkapnya konsep pendidikan dalam Islam, termasuk pengaturan proses belajar mengajar di dalamnya.[82] Kelengkapan yang ada terletak pada multi disiplin keilmuan yang ada dalam Islam sendiri. Seorang sufi misalnya akan congdong kepada konsep I’rfani yang ada dalam Islam, seorang yang mengedepankan teks adan melirik teks-teks keagaan dalam Islam dalam memuaskan dahaganya akan ilmu. Begitu pula kalangan yang menginginkan pemaksimalan terhadap akal. Seluruhnya, pada dasarnya telah adalam Islam.
Qardhawi sendiri pada dasarnya berusaha untuk memberikan solusi yang brilian dalam menghadapi gencarnya konsep pendidikan barata yang masuk dalam pendidikan Islam belakangan ini. Memang tidak sedikit dari kalangan Islam sendiri terbuai dan tergila-gila dengan konsep pendidikan ala barat. Kemajuan memang tampak dan sedang jaya-jayanya terutama konsep pendidkan yang diusung oleh barat. Namun jika kita kritis dalam mengkaji, pada dasarnya pendidikan yang diusung oleh barat adalah niali akali yang surut akan nuansa spiritual. Dalam tartan awalnya memang konsep yang berangkat dari pengedepanan akal yang radikal mengalami kmejuan yang sangat pesat. Namun hal ini tidak mampu untuk menyentuh seluruh sendi dalam kehidupan termasuk sendi etika dan norma dalam kehidupan.
Karenanya radikalisasi akal harusnya dibarengi dengan siraman spiritual yang sebanding pula. Konsep yang diusung Qardhawi pada dasarnya hanyalah salah satu dari konsep-konsep yang pernah diusung para pemikir Islam dalam kaitannya dengan dunia pendidikan khususnya dalam proses belajr mengajar.
Namun yang lebih orosinil dari konsep Qardhawi adalah penyesuaian konsepnya dengan konteks zaman dan realitas dimana konsep itu ada. Tidak identik dengan penekanan pada etika proses belajar mengjar semata, namun juga penekanan akan nilai-nilai yang seharusnya dimiliki dan nilai-nilai yang hendaknya dihindari. 
  Pada Akhirnya dengan harapan yang besar dan dengan niatan yang ihklas dari dasar hati Qardhawi megakhiri dengan mengutip Ayat di dalam Al-Quran yang berbunyi : “Tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan kepada-Nya lah aku kembali.” (Q.S Hud : 88).[83]

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Kesimpulan
Dalam kajian perihal etika belajar dan mengajar menurut Yusuf Al-Qardhawi,  konsep yang diusung pada dasarnya memiliki peranan penting dalam menanamkan nilai etik bagi peserta didik mupun para pendidik itu sendiri. Keluasan cakupan yang di bahas oleh Qardhawi membuat konsep yang ada dapat secara tepat diterapkan dalam kondisi sosial Indonesia. Memang dapat dipahami, konsep yang detelurkan oleh Qardhawi pad hahekatnya bertujuan guna pengkondisina seluruh dunia Islam jadi tidak hanya arab, mesir (timur tengah) tetapi juga Indonesia walau terdapat perbedaan cultur yang tajam antara tempat dilahirkannya konsep dengan sasaran konsep.
Penulis menemukan keunikan dalam konsep etika belajar mengajar Al-Qardhawi yang pada dasarnya bukan merupakan sebuah kebetulan belaka. Uapaya perenungan yang panjang tampak jelas tergambar dari konsep yang ada. Perumusan yang diusahakan sesai dengan konteks dan dalam kondisi tekanan idiologi barat yang mendominasi mampu disandarkan dengan indah oleh Qardhawi menjadi sebuh konsep yang sama sekali tidak bertentangan dalam Islam.
Etika belajar dan mengajar, yang merupakan landasan utama dalam proses pencarian ilmu, tranferisasi ilmu dan penyampaian informasi serta pengetahuan harus mendapat perhatian dalam bentuk kematangan konsep dan keteraturan tujuan, dari mana dimulai konsep yang ada dan kejelasan mengenai tujuan serta hasil yang di capai.
Setidaknya terdapat beberapa dampak positif yang dilahirkan dari adanya konsep etika belajar dan mengjar yang dirumuskan oleh Al-Qardhawi diantaranya :
1.      Al-Qardhawi pada dasarnya tidak melarang penggunakan konsep filsafat dalam dunia pendidikan selama konsep yang ada tidak bertentangan dengan sumber rujukan utama dalam Islam yakni Al-Qura’an dan Sunnah. Hal yang demikian dapat dilihat dengan adanya konsep penggunaan akal yang maksimal dalam pembentukan ahklak baik perserta maupun pendidik (dalam proses belajar dan mengajar). dalam hal ini filsafat pendidikan sebagai jargonnya, yang sesuai dengan sifatnya[84] dapat digunakan sebagai acuan, namun tidak harus dilandasi dengan sifat idealisme yang akut, agar tidak menimbulkan konflik dan menghambat kemajuan dan proses pendidikan itu sendiri. Dalam maknannya, filsafat pendidikan dapat digunakan sesuai dengan maknanya. Kemudian dalam  bentuk interpretasi, pendidikan yang digunakan sebagai objek kaji dari filsafat harus bersedia membuka diri dan menghilangkan cirri-ciri subjektifitas agar dapat melahirkan unsur intersubjektifitas dalam konsep dan kemudian dalam penerapannya.
2.      Yusuf Al-Qardhawi berusaha untuk melahirkan konsep yang sesuai dengan zaman kekinian. Hal ini bukan berarti konsep-konsep etika dalam dunia pendidikan khususnya belajar dan mengajar dari pemikir-pemikir sebelumya, sudah tidak bisa lagi diterapkan. Namun yang diperlukan adalah sedikit penyesuaian dengan keadaan masa kini. Islam sebagai agama pada dasarnya telah memiliki tuntunan yang menyeluruh dan lenkap, namun kelengkapan dan ke-menyeluruhan bukan berarti membuat penganutnya faham. Perlu adanya tuntunan dan informasi yang valid dari pengembangan terhadap pengetahuan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dalam kehidupan. Etka belajar dan mengajar Yusuf Al-Qardhawi, telah memberikan sumbangan yang besar dalam dunia pendidkan dewasa ini. Nilai-nilai yang diusungnya seperti perbaikan Akhlak, keadilan, pemakaian akal secara amaksimal, menghindari hal-hal yang negatif dalam pendidikan seperti nafsu (yang bersifat negatif), bermalas-malasan dalam hal yang ada hubungannya dengan ilmu serta melenceng dari Al-Qur’an dan Sunnah telah menjadi referensi tambahan dalam dunia Islam moderen.
Penting tidaknya konsep yang diusung Qardhawi terletak pada kondisi psikis tenaga pengajar (guru). Jika seorang actor penggerak menginginkan perubahan walau sebiji zarah, maka konsep yang diusung Qardhawi dapat diterapkan. Tentu saja harus melewati tahapan-tahanpan yang sudah dijelaskan oleh Qardhawi.
3.      Bagi Yusuf Al-Qardhawi etika dalam proses belajar dan mengajar adalah hal yang paling mendasar dalam harus diketahui dan diterapkan. Dalam bukunya Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Qardhawi merinci bagaimana semangat dalam penanaman nilai etik dalam proses belajar dan mengajar. yang haus digaris bawahi adalah, proses dan aturan yang dalam penanaman nilai etik, acuan dan arah yang jelas dalam sebuah konsep menjadi penting, karena dengan kejelasan konsep akan mengarahkan pada kemudahan dalam mempraktekkannya.  Dalam kaitannya dengan konsep Al-Qardhawi mengenai proses belajar dan mengajar, ia menggunakan pendekatan filosofis dengan tidak meninggalkan sejarah dan tidak meremehkan masa kini. Usahanya untuk menselaraskan nilai yang telah ada dengan imbuhan nilai-nilai baru agar sejalan dengan zaman tampak jelas dalam konsep filosofisnya mengenai dimensi etik pendidikan (belajar dan mengajar).[85]



B.     Saran-saran
Di dalam kajian ini, penulis menemukan beberapa hal yang penting untuk dikemukakan dan diperhatikan bagi kalangan yang menerapkan konsep etika belajar dan mengajar Yusuf Al-Qardhawi, diantaranya :
1.      perlu adanya kajian yang serius mengenai konsep pendidikan Yusuf Al-Qardhawi, karena kebanyakan orang selama ini menganggap beliau hanya sebatas sebagai seorang fuqaha dan penulis hukum Islam saja, sedangkan pada kenyataannya beliau adalah pemikir dan penulis multi disiplin keilmuan.
2.      dalam menyelami konsep Qardhawi, pembaca atau penerap konsepnya hendaknya benar-benar faham awal dari permulaan konsep dan akhir dari tujuan dilaksanakannya konsep sehingga dalam prakteknya tidak kelabakan dan bingung.
3.      namun demikian, harusnya berhati-hati dalam penerapan konsep. Dalam artian hindarkan sifat taqlid yang berlebihan sehingga berdampak pada eksklusifism sempit yang justru membahayakan proses belajar dan mengajar.
4.      pada dasarnya seluruh konsep pendidikan yang dilahirkan oleh para pemikir Islam adalah bertujuan untuk kemaslahatan. Tidak satupun konsep yang ada bertujuan sebaliknya, karenanya kebijakanlah yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memilah-milah, mana yang sesuai, mana yang pas dan mana yang tidak seharusnya diterapkan karena sebagai manusia kita tidak akan bisa lepas dari sejarah yang melingkupi kita, cultur dan budaya berpengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari kita. 

DAFTAR PUSTAKA

a.      Buku     
·        Ahmadi Abu, Nur Uhbiyati,”ilmu pendidikan”, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991.
·        Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Yogyakarta : Rieneka Cipta, 1991.
·        Bin Ahmad Hakami Hafiz, Kunci Aqidah Islam, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995.
·        Boy ZTF Pradana, Islam Dialektis (membendung Dogmatisme menuju liberalism), Malang : UMM Prees, 2005.
·        Daradjat Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Perkasa, 2004.
·        Hadi Sutrisno, Metodologi Research, jilid I Yogyakarta : Andi, 2000.
·        Nazir Muh, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
·        Ndraha Talizidun, Reseach Teori Metodologi Administrasi, Jakarta : Bina Aksara, 1985.
·        Qadhir C. A, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1991.
·        Sabiq Assayid, Sumber Kekuatan Islam, Surabaya : PT. Buana Ilmu, 1982.
·        Sadulloh Uyoh,”pengantar filsafat pendidikan”, Bandung : Alfabeta CV 2007.
·        Solihin Mukhtar, Hakikat Manusia (Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam), Bandung : Pustaka Setia, 2005.
·        Bertens K., Etika, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Tama, 2005.
·        Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004.
·        Poerwadarminta W.j.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jilid Ii, 1966.
·        Nasution Harun, Entri “akhlak” dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992.
·        Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa Farid Mahrub, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
·        Abdullah M Amin, Falsafah Kalam Di Era Pos Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995.
·        Bagir Haidar, Etika Barat, Etika Islam, Pengantar Untuk Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali Dan Kant : Fils Etika Islam, Bandung : Mizan, 2002.
·        Mujadid Abdul Malik, Al-Qur’an dan Terjemah, KSA : Darussalam, 2006.
·        Al-Qurdhawi Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Quran, Jakarta : Gema Insani, 1999.
·        Rahman Fazlur, Islam, Bandung : Penerbit Pustaka, 2003.
·        Al-Quradhawi Yusuf, Fatawa Qardhawi Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, Surabaya : Risalah Gusti, 1994.
·        Al-Qaradhawi Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, ahli bahasa Asad Yasin, Jakarta : Gema Insani Pers, 1997.
·        Al-Qardhawi Yusuf, Sunah Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Alih Bahasa Abad Fadruszzaman, Yogyakarta : Tiara wacana, 2001.
·        Al-Qardhawi Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003.
·        Faiz Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005.
b.      Tugas Akhir
·        Khaerudin Akhmad, “Membangun Sistem Masyarakat Islam (Studi atas Pemikiran Yusuf al-Quradhawi)”. Skripsi S1. Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002.
·        Rahmawati, “Studi atas Pemikiran Yusuf al-Qurhadawi Tentang Etika Ekonomi Islam”. Skripsi S1 Fak. Syari’ah UIN Bandung, 2001.
·        Sidqi Ahmad, “Corak Ekologis dalam Penafsiran al-Qur’an (Telaah Kritis atas Penafsiran Mujiono Abdillah tentang Ayat-ayat Lingkungan)”. skripsi S1 Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
c.       Internet
·        Ahmad, Etika Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Spiritual), dalam situs <www.mediaisnet.com> diakses pada 18 Oktober 2010.
·        Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
·        Etika Pendidikan Islam: Petuah KH M. Hasyim Ayhari untuk Para Guru, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 18 oktober 2010.
·        Etika Pendidikan, dalam situs<http://padarangan.blogspot.com>, diakses pada 8 Januari 2011.
·        Hidayat Ma’ruf, Etika Pendidikan dalam Islam (Telaah atas Pemikiran al-Ghazali), dalam situs < http://hidayah-ilayya.blogspot.com>, diakses pada 18 Oktober 2010.
·        Imam al-Ghazali dalam Ihya’ulumuddin, dikutip oleh Hidayat Ma’ruf, dalam situs < http://hidayah-ilayya.blogspot.com> di akses pada 18 Oktober 2010.
·        Konsep Etika Belajar Mengajar, dalam situs <http://etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com>, diakses pada 9 Januari 2011.
·        Landasan filsafat pendidikan, dalam situs <http://www.docstoc.com>, diakses pada 22 desember 2010
·        Mengupas kekerasan psikis di sekolah dari sudut pandang etika pendidikan, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 8 Januari 2010.
·        Muhammad Ali dkk, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah, Tinjauan Histories Dan Praktis, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 7 Januari 2011.
·         Pengertian filsafat, dalam situs <http://afrizal.wordpress.com>, diakses pada 22 Desember 2010.
·        Pengertian Pendidikan, dalam situs< http://www.idonbiu.com>, diakses pada 5 Januari 2011.
·        Yusuf Al-Qardhawi, Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin, , dalam situs, <http://karya2ilmiah.blogspot.com>, diakses pada 12 desember 2010.
d.      Artikel
·        Eileen Rachman, dkk, Etika, Kompas edisi Sabtu 21 Februari 2009, hlm. 33


         


[1] Mukhtar Solihin, Hakikat Manusia (Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam), (Bandung : Pustaka Setia, 2005), hlm. 150.
[2] Dalam bahasa Imam Ghazali etika sama dengan ahklaq, namun bedanya ahklaq lebih cenderung pada sikap manusia yang dilakukan dalam keadaan sadar di kehidupan sehari-hari. Sedangkan etika lebih condong kepada disiplin keilmuan. Hal ini telah menjadi kesepakatan para sarjanawan bahasa bahwa akhiran kata ika pada nama keilmuan merupakan simbol dari sebuah disiplin kajian. Contoh kata metafisik yang berarti dibalik yang fisik menjadi disiplin keilmuan ketika diberi akhiran “ika”,  menjadi metafisika. Statistik menjadi disiplin keilmuan saat disebut statistika dan seterusnya.
[3] Imam al-Ghazali dalam Ihya’ulumuddin, dikutip oleh Hidayat Ma’ruf, dalam situs < http://hidayah-ilayya.blogspot.com> di akses pada 18 Oktober 2010.
[4] Ahmad, Etika Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Spiritual), dalam situs <www.mediaisnet.com> diakses pada 18 Oktober 2010.
[5] Konsep Etika Belajar Mengajar, dalam situs <http://etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com>, diakses pada, 9 Januari 2011.
[6] Konsep Etika Belajar Mengajar, dalam situs <http://etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com>, diakses pada, 9 Januari 2011.
[7] Ibid, hlm 18.
[8] Sikap menyendiri dan eksklusif dengan modernisasi.

[9] Syeikh Hafiz bin Ahmad Hakami, Kunci Aqidah Islam, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 43. 
[10] Pradana Boy ZTF, Islam Dialektis (membendung Dogmatisme menuju liberalism), (Malang : UMM Prees, 2005), hlm. 58.
[11] C. A Qadhir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta : Yayasan Obor, 1991), hlm. 1.
[12] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Perkasa, 2004), hlm. 72-73.
[13] Assayid Sabiq, Sumber Kekuatan Islam, (Surabaya : PT. Buana Ilmu, 1982), hlm. 68-69.
[14] Yusuf Al-Qardhawi, Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin, dalam situs <http://karya2ilmiah.blogspot.com>, diakses pada12 desember 2010.
[15] Landasan Filsafat Pendidikan, dalam situs <http://www.docstoc.com>, diakses, 22 desember 2010.
[16] Pengertian filsafat, dalam situs <http://afrizal.wordpress.com>, diakses pada 22 Desember 2010.
[17] Abu ahmadi dkk, Ilmu pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 1991). hlm 34.
[18] Pengertian Pendidikan, dalam situs< http://www.idonbiu.com>, diakses pada 5 Januari 2011
[19]Etika Pendidikan, dalam situs<http://padarangan.blogspot.com>, diakses pada 8 Januari 2011.
[20] Landasan Filsafat Pendidikan, dalam situs <http://www.docstoc.com>, diakses, 22. Desember 2010.
[21] Uyoh sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta cv, 2007), hlm. 72.
[22] Sutrisno hadi, Metodologi Research, jilid I (Yogyakarta : Andi, 2000), hlm. 9.
[23] Talizidun Ndraha, Reseach Teori Metodologi Administrasi, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm 80.
[24] Sebenarnya penerjemahan kata Sophia dalam bahasa Yunani menjadi bijaksana dalam bahsa Indonesia telah mereduksi makna yang sesungguhnya. Kata bijaksana menunjukkan sifat yang dengannya tidak bisa di campur dengan sifat atau hal yang lain. Sedangkan kata Sophia memiliki makna yang sangat luas. Demikian juga jika di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi wisdom, hal yang sama juga terjadi pada makna Shopia yang sesungguhnya.
[25] Landasan filsafat pendidikan, dalam situs <http://www.docstoc.com>, diakses, 22. Desember 2010.
[26] Uyoh sadulloh, pengantar filsafat pendidikan (bandung: alfabeta cv,2007) hlm, 72.
[27] Muhammad Ali dkk, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah, Tinjauan Histories Dan Praktis, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 7 Januari 2011.
[28] Muhammad Ali dkk, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah, Tinjauan Histories Dan Praktis, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 7 Januari 2011.
[29] K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Tama, 2005), hlm. 4.
[30] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 343.
[31] K. Bertens, Etika, hlm. 5.
[32] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 (1991) dan edisi ke-3 (2001) ada perubahan. Disitu dimuat 2 entri yakni “etik” dan “etika”. “Etik” meliputi poin ke 4 dan 5  dari “etika” dalam edisi 1998, sedangkan “etika” (dalam edisi 1991 dan 2001) dikhususkan untuk ilmunya. Sedangkan “etika” dimengerti sebagaiilmu tentang “etik”.
[33] Lihat, Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 343 
[34] Eileen Rachman, dkk, Etika, Kompas edisi Sabtu 21 Februari 2009, hlm. 33.
[35] Dalam pembabakan waktu dalam sejarah Islam,  menurut Harun Nasution dalam”Islam Rasional”, setidaknya ada tiga tahapan penting yakni 650-850 M (Klasik), 850-1250 (pertengahan) dan 1250-1850 (moderen).   
[36] K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Tama, 2005), hlm. 235-253.
[37] W.j.s Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jilid Ii, 1966, hal, 310
[38] Entri “akhlak” dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Harun nasution (Jakarta : Djambatan, 1992), hlm . 981
[39] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa Farid Mahrub (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm 15.
[40] M Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Pos Modernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 147.
[41] Haidar Bagir, Etika Barat, Etika Islam, Pengantar Untuk Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali Dan Kant : Fils Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002),  hlm .15.
[42] Abdul Malik Mujadid, Al-Qur’an dan Terjemah, (KSA : Darussalam, 2006), hlm  25.
[43] Ibid, hlm. 200.
[44] Yusuf Al-Qurdhawi, Berinteraksi Dengan Al-Quran, (Jakarta : Gema Insani, 1999), hlm. 582. 
[45] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 354.
[46] Para ahli bahasa biasa mendifinisikan masalah dengan kesenjangan dari yang seharusnya, dari tujuan dari etika secara mudahnya menghindari manusia dari kesenjangan dalam kehidupan atas keseharusan yang terjadi dalam masyarakat.
[47] Mengupas kekerasan psikis di sekolah dari sudut pandang etika pendidikan, dalam situs <www.mediaisnet.com>, diakses pada 8 Januari 2010.
[48] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
[49] Yusuf Al-Quradhawi, Fatawa Qardhawi Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, (Surabaya : Risalah Gusti, 1994), hlm 399-400.
[50] Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, ahli bahasa Asad Yasin, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1997), hlm. 16.
[51] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
[52] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.

[53] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
[54] Yusuf Al-Quradhawi, Fatawa Qardhawi Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, (Surabaya : Risalah Gusti, 1994), hlm 400.

[55] Dalam epistemologi Al-jabiri, setidaknya ada tiga ciri pokok yang ada pada manusia dalam kaitanyya dengan peoses memperoleh pengetahuan. 1. Bayani (Merupakan pola pikir tekstualis yang menyandarkan segala bentuk putusan dan pengetahuan kepada teks-teks keagamaan). 2. Burhani (bagi kalangan burhani, pengetahuan bersumber dari akal au rasio. Pemanfaatan atas indera yang dimiliki manusia kemudian di manfaatkan dengan pengolahan oleh akal). 3. I’rfani (berbeda jauh dengan kedua hal yang sebelumnya, I’rfani menggantungkan proses pencapaian pengetahuan dengan cara olah rasa atau intuisionism. Hati yang menjadi sumber pengetahuan mendapatkan peran penting dalam melaksanakan proses pendapatan keilmuan).
[56] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
[57] Yusuf Al-Quradhawi, Fatawa Qardhawi Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, (Surabaya : Risalah Gusti, 1994), hlm 400.
[58] Biografi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs < http://www.2lisan.com>, diakses pada 26 Desember 2010.
[59] Yusuf Al-Qardhawi, Sunah Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Alih Bahasa Abad Fadruszzaman, (Yogyakarta : Tiara wacana, 2001), hlm. 360.
[60] Yang dijadian landasan olehnya disini adalah Q.s Annahal ayat 128, sabda Nabi “Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu”.
[61] Abdul Malik Mujadid, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (KSA : Darussalam, 2006), hlm. 800.
[62] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 37.
[63] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 32.
[64] Yusuf Al-Qardhawi, Fatawa Qardhawi Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, (Surabaya : Risalah Gusti, 1994), hlm. 6.
[65] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 42.

[66] Yusuf Al-Qardhawi, Berinteraksi Dengan AlQur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 577.
[67] Lihat, Tafsir Seper Sepuluh Dari Ayat Al-Qur’an, hlm. 199.
[68] Kitab gubahan Ibn Taimiyah membahas panjang lebar perihal konsep ketauhidan serta bagaimana interpretasinya dalam kehidupan keseharian.
[69] Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi Dengan AlQur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 596.

[70] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005), hlm. 157-158.
[71] Hadits merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Rosulullah saw (huwa maa usnida ila Rosulillah sallaulahualiwasallam min qoulin au fi’lin au takririn).
[72] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 6.

[73] Abdul Malik Mujahid, Al-Qur’an dan terjemahnya, (KSA : Darusslam, 2006). Hlm. 445.
[74] Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi Dengan AlQur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 97.
[75] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 27.
[76] Terdapat perbedaan yang tajan dalam memaknai kata khalifah. Sebagian ulama ada yang menganggap kata khalifah bukanlah menunjukkan makna bahwa manusia adalah wakil Allah swt di muka bumi. Tapi khalifah yang dimaksudkan adalah pengganti dari generasi sebelumnya. Dalam bahasanya yang lebih mudah, khalifah adalah “penerus”.
[77] Dalam biografinya disebutkan, Qardhawi membebaskan anak-anaknya untuk memilih pendidikan yang sesai dengan keinginan dan bakatnya masing-masing. Dari ke 7 (anaknya) hanya satu orang menempuh jenjang pendidikan keagamaan, sedangkan yang lainnya mengambil kajian science dan mendapatkan gelar doctor  dibidangnya.
[78] Dalam kajian filsafat, terdapat perbedaan yang jelas antara ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge). Dalam filsafat ilmu adalah informasi yang ditangkap oleh indra dan belum dilakukan proses penalaran. Sedangkan pengetahuan adalah konsep-konsep yang dilahirkan akibat adanya informasi yang sampai akibat interaksi panca indra dengan objek.
[79] Jabiri memetakan sumber pengetahuan dalam Islam (Bayani, Burhani dan I’rfani). Bayani, Sumber pengetahuan dari metode ini dalah teks baik Al-Qur’an maupun Hadits. Walaupun tokoh seperti as-Syathibi menggunakan pemikiran rasional filsafat dalam kaitannya dengan metode ini, namun nash tetap mendapat tempat pertama di atas metode rasional. Burhani, Menurut Jabiri, prinsip Burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang dikaitkan dengan istilah metode analitik (tahlili); suatu cara berpikir pengambilan keputusan yang didasarkan pada proposisi tertentu, proposisi hamliyah (categorical proposition) dengan mengambil sepuluh kategori, sebagai objek kajiannya. I’rfani, Dalam kerangka teoritis, metode ini berdasarkan pada intuisi dan kemudian berusaha untuk mengemukakan teori-teori yang didapat melalui intuisi tersebut secara logis dan dapat dijelaskan dengan kata-kata. Umumnya para kalangan yang menggandrungi metode ini beranggapan bahwa eksistensi Tuhan adalah keseluruhan alam semesta dan segala sesuatu termasuk alam semesta adalah manifestasi dari sifat nya.
[80] Dapat kita lihat saat ini dari semua perguan tinggi yang paling banyak mahasiswanya adalah jurusan yang dianggap mampu mengantarkan pada pencapaian materi (dunia kerja) sehingga semua jurusan yang dianggap tidak dapat mengantarkan pada dunia kerja menjadi dikesampingkan.
[81] Terbukti dengan banyaknya peraih nobel yang berasal dari Negara Jerman, serta prestasi dalam bidang olahraga juga mampu bersaing dengan negara-negara eropa yang lain yang menerapkn sistem yang sama dalam sistem penyaluran bakat si anak dalam usia dini.
[82] Yufuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasal Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 26.
[83] Yufuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasal Hasan Al-Banna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003). hlm. 101.
[84] Filsafat merupakan kajian yang tidak akan menemukan kata finish dalam pengamalannya. Perkembangan adalah cirri dari disiplin keilmuan ini. Setiap ada kemunculan dari sebuah pemikiran yang baru akan dibarengi dengan sanjungan dan juga bantahan dari kalangan yang lain. Hal ini yang membuat filsafat terus berkembang dan tidak mengalamai stagnasi. Demikian juga halnya jika konsep filsafat dimasukkan dalam dunia pendidikan, setiap konsep yang ada bukanlah harga mati yang harus diterapkan begitu saja, namun harus bersedia menerima setiap konsep lain yang dianggap baik dan sesuai dengan konteks kekinian.
[85] Dalam bebrapa tukisanya Qardhawi memang merupakan pemikir yang toleran dan tidak memihak pada satu hal secara ekstrem. Namun demikian, tidak menandakan bahwa beliau adalah orang yang tidak berpendirian. Jargonnya mengenai “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” adalah harga mati yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Dalam membuktikan argumentasi ini,baca karangan Qardhawi yang berjudul “Berinteraksi Dengan Al-Qur’an” dan “Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna”.

1 komentar: